TEMPO.CO, Jakarta - PAYUNG hukum lebih kuat untuk memerangi terorisme kini di depan mata. Sebelum masa persidangan III DPR yang akan selesai pertengahan bulan ini, DPR akan segera mengetuk palu, meresmikan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undang-undang. ”Kemungkinan Akan selesai sebelum 14 Februari,” kata Ketua Komisi Hukum DPR, Aziz Syamsuddin kepada Tempo, Selasa, (6/2 ) kemarin.
Salah satu hal baru yang muncul dalam RUU ini adalah penyadapan yang bisa dilakukan tanpa lebih dulu mendapat izin dari pengadilan. Kesepakatan melakukan penyadapan tanpa ijin terlebih dahulu itu tercapai dalam rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme antara Panitia Khusus RUU dan Pemerintah pada 26 Juli lalu, dua hari sebelum DPR memasuki masa reses.
Kendati demikian ada rambu-rambunya. Penyadapan hanya bisa dilakukan dalam keadaan mendesak. Adapun yang masuk kategori situasi mendesak: adanya potensi bahaya maut atau luka serius; adanya permufakatan jahat melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara; serta permufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak pidana terorganisir.
Sekalipun demikian, bukan berarti tak ada pemberitahuan. Dalam waktu paling lama tiga hari, pihak penyadap mesti memberitahukan tindakan penyadapan kepada ketua pengadilan negeri setempat.
Ketentuan “penyadapan tanpa pemberitahuan” ini tertuang dalam Pasal 31A RUU Antiteroris. Pasal perihal penyadapan tanpa lebih dulu melapor tersebut baru lahir dalam pembahasan antara Pansus dan Pemerintah dan sebelumnya tidak tertera dalam draf RUU versi DPR.
Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, menunjuk ketentuan segera memberitahu kepada ketua pengadilan merupakan hal seharusnya. “Rumusan pasal itu tepat,” katanya. Ketentuan itu, ujar Suhadi, tidak hanya melindungi aparat penegak hukum yang harus melakukan penyadapan dalam kondisi mendesak, juga melindungi ketua pengadilan negeri yang akan memberikan persetujuan. Pada sejumlah undang-undang, biasanya ijin penyadapan baru diberikan setelah ada pemberitahuan dan persetujuan dari ketua pengadilan.
***
Terduga tindak pidana terorisme melakukan rekonstruksi di kawasan Mekarsari, Kecamatan Kiaracondong, Bandung, 26 Oktober 2017. Densus 88 membawa lima orang terduga teroris melakukan reka ulang adegan terkait dugaan rencana pemboman Istana Negara pada Agustus lalu. TEMPO/Prima Mulia
RUU Anterorisme, demikian sebutan populernya, merupakan salah satu RUU yang dikebut penyelesainnya oleh DPR. Masuk menjadi program prioritas legislasi (prolegnas) tahun 2017, RUU ini dibahas oleh DPR dan Pemerintah sudah cukup lama, sejak Mei tahun 2016. Jika kemudian DPR dan Pemerintah beberapa bulan menjelang akhir 2017 menggeber pembahasannya, itu, terutama, dipicu sejumlah teror yang terjadi dalam waktu terhitung dekat: “bom Sarinah” dan “bom Kampung Melayu.” Presiden Joko Widodo, misalnya, ikut mendesak, meminta RUU ini segera diselesaikan.
Undang-undang terorisme yang kini ada, UU No 15/ 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, dipandang sudah ketinggalan zaman, tak lagi bisa “mengatasi” teror-teror yang dikhawatirkan akan makin marak. Panglima TNI Gatot Nurmantyo –saat itu- menyebut Undang-Undang No. 15/2003 tak lagi relevan untuk kondisi sekarang. “Saya katakan alangkah bodohnya bangsa ini kalau masih menggunakan undang-undang yang ada sekarang,” ujar Gatot.
Undang-Undang No. 15/2003 lahir pascaperistiwa bom Bali pada 2003. Undang-Undang inilah yang selama ini dipakai menangkap dan mengadili para tersangka terorisme. Dalam Undang-Undang ini garda terdepan pemberantasan terorisme dipegang kepolisian.
Namun, dalam perkembangannya, negara , dalam hal ini parat keamanan, menyadari UU No. 15/2003 harus direvisi. Diperlukan payung hukum baru agar langkah aparat di lapangan dalam memberantas terorisme lebih trengginas namun tidak melanggar aturan. Beberapa hal yang dinilai bolong-bolong dalam undang-undang yang ada, misalnya, tidak adanya ancaman pidana terhadap perbuatan makar atau aktivitas seseorang, atau organisasi masyarakat yang mendukung tindak pidana terorisme.
Pemidanaan terhadap tindakan demikian dinilai penting mengingat, misalnya, kini banyak orang Indonesia yang pulang dari Suriah dan diduga mereka simpatisan dan pendukung Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Sejumlah temuan aparat keamanan terhadap teror beberapa waktu terakhir menunjuk pelakunya terlibat NIIS. Aparat hukum memerlukan payung hukum agar bisa menangkap mereka. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tercatat sedikitnya 150-an orang Indonesia yang kembali dari Suriah –mereka diduga terlibat dalam NIIS sepanjang 2014-2015.
Dalam kaitan itu pula RUU ini kemudian menetapkan jangka waktu penahanan seseorang. Jika sebelumnya UU No. 15/2003 mengatur masa penahanan seseorang maksimal 7x24 jam, dalam RUU ini aparat bisa menahan orang sampai 30 hari. Selain itu, mereka yang terbukti, misalnya, mengikuti pelatihan terorisme di luar negeri, paspornya bisa dicabut.
Penambahan masa tahanan inilah yang menjadi sorotan para aktivis HAM seperti, antara lain, yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil (KMP). Menurut Koalisi panjangnya kewenangan penangkapan adalah melanggar prinsip-prinsip HAM, termasuk konvensi internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICEAFRD).
Koalisi juga menyoroti sejumlah pasal lain yang dinilai melanggar HAM, seperti pencabutan kewarganegaraan mereka yang mengikuti pelatihan tindak pidana terorisme dan konsep deradikalisasi yang memberi wewenang aparat hukum menempatkan seseorang di satu tempat selama enam bulan. Koalisi menilai RUU ini tidak membahas secara jelas bentuk pertangungjawaban aparat dalam melakukan operasi pemberantasan terorisme.
Koalisi menunjuk sejumlah fakta kerap terjadinya salah tangkap terhadap seseorang yang diduga pelaku terorisme. Ini, misalnya, seperti yang menimpa Siswoyo di Jawa Tengah. Koalisi juga menunjuk catatan Komnas HAM yang menghitung ada sekitar 210 orang yang diduga melakukan terorisme tewas tanpa menjalani proses peradilan terlebih dahulu.
Dalam kerangka hak asasi manusia , menurut peneliti pada Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, tindakan demikian masuk kategori extrajudicial killing atau pembunuhan yang dilakukan di luar sistem hukum. Atas kritik itu, Ketua Panitia Khusus RUU Terorisme, Muhammad Syafi’i menyatakan pihaknya menerima semua masukan itu. Menurut dia, prinsipnya, RUU tidak membuka celah terjadinya pelanggaran HAM
Salah satu yang menjadi perdebatan alot dalam pembahasan RUU adalalah pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Sebelumnya, menurut Undang-Undang yang ada, aparat yang memegang kendali dalam pemberantasan terorime adalah kepolisian -hal yang kemudian antara lain melahirkan Densus 88 –satuan khusus melawan terorisme.
Pelibatan TNI itu merupakan usul pemerintah. DPR sendiri terpecah dalam menanggapi hal ini. Dengan pelibatan TNI ini praktis “kendali” pemberantasan terorisme tidak hanya pada kepolisian. Selama ini TNI sebenarnya juga beberapa kali terlibat dalam penangkapan para teroris seperti yang terjadi terhadap Santoso dan kelompoknya di Poso. Namun, Pemerintah menilai pelibatan itu mesti diperkuat lewat aturan dalam undang-undang terorisme.
Kendati pelibatan TNI tersebut mendapat tentangan para aktivis HAM dan sejumlah anggota Pansus, toh lobi-lobi yang dilakukan secara intensif oleh pemerintah akhirnya berhasil memasukkan “pasal keterlibatan TNI” itu dalam RUU ini. Presiden Joko Widodo sendiri juga meminta TNI dilibatkan dalam pemberantasan terorisme.
Menurut Syafi’i pelibatan TNI itu tidak berstatus BKO (Bawah Kendali Operasi). Artinya, TNI akan selalu dilibatkan dalam setiap upaya pemberantasn terorisme.
Menurut Syafi’I dengan ketentuan seperti ini, maka leading sector pemberantasan terorisme dipegang Badan Nasional Penanggulan Terorisme (BNPT). Pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme dalam undang-undang juga akan diatur lebih detail lewat aturan peraturan presiden.
***
Ada di RUU ada Pula di UU TNI
Tanpa masuk Undang-Undang Terorisme sebenarnya TNI juga memiliki wewenang memberantas terorisme. Aturan itu ada dalam UU TNI.
Masuknya peran TNI dalam draf RUU Antiterorisme:
Pasal 43B:
Ayat 1
Kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme
UU No.34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
Pasal 7 ayat (1):
Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Dalam bagian penjelasan, yang merupakan ancaman dan gangguan di pasal 7 ayat (1) antara lain:
Aksi teror bersenjata yang dilakukan oleh teroris internasional atau bekerja sama dengan teroris dalam negeri atau oleh teroris dalam negeri
Yang Baru dalam RUU Antiterorisme
Pasal 12A
(1) Setiap Orang yang dengan maksud dan melawan hukum mengadakan
hubungan dengan setiap orang yang berada di dalam negeri dan/atau
di luar negeri atau negara asing akan melakukan atau melakukan
Tindak Pidana Terorisme di Indonesia atau di negara lain, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun.
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut orang
untuk menjadi anggota korporasi yang dinyatakan sebagai korporasi
terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 7 (tujuh) tahun.
(3) Pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang mengarahkan kegiatan
Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun.
Pasal 14
Setiap orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk
melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, dan
Pasal 12B, dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup,
atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.
LESTANTYA R. BASKORO, CITRA