Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Perlindungan Baru Melawan Terorisme

Reporter

image-gnews
Sejumlah petugas kepolisian ditembaki dan di lempar bom oleh teroris dikawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta, 14 Januari 2016. Dari delapan orang tewas dalam peristiwa tersebut, empat diantaramya diduga merupakan pelaku dari kejadian tersebut. dok.Tempo/ Aditia Noviansyah
Sejumlah petugas kepolisian ditembaki dan di lempar bom oleh teroris dikawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta, 14 Januari 2016. Dari delapan orang tewas dalam peristiwa tersebut, empat diantaramya diduga merupakan pelaku dari kejadian tersebut. dok.Tempo/ Aditia Noviansyah
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - PAYUNG  hukum lebih kuat untuk memerangi terorisme kini  di depan mata.  Sebelum masa persidangan III DPR yang akan selesai pertengahan bulan ini, DPR akan segera mengetuk palu, meresmikan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undang-undang. ”Kemungkinan Akan selesai sebelum 14 Februari,” kata Ketua Komisi Hukum DPR, Aziz Syamsuddin kepada Tempo, Selasa, (6/2 ) kemarin.

Salah satu hal baru yang muncul dalam RUU ini adalah penyadapan yang bisa dilakukan tanpa lebih dulu mendapat izin dari pengadilan. Kesepakatan melakukan penyadapan tanpa ijin terlebih dahulu itu tercapai dalam rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme antara Panitia Khusus RUU dan Pemerintah pada 26 Juli lalu, dua  hari sebelum DPR memasuki masa reses.

Kendati demikian ada rambu-rambunya. Penyadapan hanya bisa dilakukan dalam keadaan mendesak. Adapun yang masuk kategori situasi mendesak:  adanya potensi bahaya maut atau luka serius; adanya permufakatan jahat melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara;  serta permufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak pidana terorganisir.

Sekalipun demikian, bukan berarti tak ada pemberitahuan.  Dalam waktu paling lama tiga hari, pihak penyadap mesti memberitahukan tindakan penyadapan kepada ketua pengadilan negeri setempat.

Ketentuan “penyadapan tanpa pemberitahuan” ini tertuang dalam Pasal 31A RUU Antiteroris. Pasal perihal penyadapan tanpa lebih dulu melapor tersebut baru lahir dalam pembahasan antara Pansus dan Pemerintah dan sebelumnya tidak tertera dalam  draf  RUU versi DPR.

Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, menunjuk ketentuan segera memberitahu kepada ketua pengadilan merupakan hal seharusnya. “Rumusan pasal itu tepat,” katanya. Ketentuan itu, ujar Suhadi, tidak hanya melindungi aparat penegak hukum yang harus  melakukan penyadapan dalam kondisi mendesak, juga melindungi ketua pengadilan negeri yang akan memberikan persetujuan. Pada sejumlah undang-undang, biasanya ijin penyadapan  baru diberikan setelah ada pemberitahuan dan persetujuan dari ketua pengadilan.

 ***

Terduga tindak pidana terorisme melakukan rekonstruksi di kawasan Mekarsari, Kecamatan Kiaracondong, Bandung, 26 Oktober 2017. Densus 88 membawa lima orang terduga teroris melakukan reka ulang adegan terkait dugaan rencana pemboman Istana Negara pada Agustus lalu. TEMPO/Prima Mulia

RUU Anterorisme, demikian sebutan populernya, merupakan salah satu RUU yang dikebut penyelesainnya oleh DPR. Masuk menjadi program prioritas legislasi (prolegnas) tahun 2017,  RUU ini  dibahas oleh DPR dan Pemerintah sudah  cukup lama, sejak Mei tahun 2016. Jika kemudian DPR dan Pemerintah beberapa bulan  menjelang akhir 2017  menggeber pembahasannya, itu, terutama, dipicu sejumlah teror yang terjadi dalam waktu terhitung dekat:  “bom Sarinah” dan  “bom Kampung Melayu.”  Presiden Joko Widodo, misalnya, ikut mendesak,  meminta RUU  ini segera diselesaikan.

Undang-undang terorisme yang kini ada, UU No 15/  2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, dipandang sudah ketinggalan zaman, tak lagi bisa “mengatasi”  teror-teror yang dikhawatirkan akan  makin marak.  Panglima TNI Gatot Nurmantyo –saat itu-   menyebut Undang-Undang No. 15/2003    tak lagi relevan untuk kondisi sekarang. “Saya katakan alangkah bodohnya bangsa ini kalau masih menggunakan undang-undang yang ada sekarang,” ujar Gatot.

Undang-Undang No. 15/2003 lahir  pascaperistiwa bom Bali pada 2003.  Undang-Undang inilah yang selama ini dipakai menangkap dan mengadili para tersangka terorisme. Dalam Undang-Undang ini garda terdepan pemberantasan terorisme dipegang kepolisian.

Namun, dalam perkembangannya,  negara , dalam hal ini parat keamanan, menyadari UU No. 15/2003 harus direvisi.  Diperlukan payung hukum baru agar  langkah aparat di lapangan dalam memberantas terorisme  lebih trengginas namun tidak melanggar aturan. Beberapa hal yang dinilai bolong-bolong dalam undang-undang yang ada, misalnya, tidak adanya ancaman pidana terhadap perbuatan makar atau aktivitas seseorang, atau organisasi masyarakat yang mendukung tindak pidana terorisme.

Pemidanaan terhadap tindakan demikian dinilai penting mengingat, misalnya, kini banyak orang Indonesia yang pulang dari Suriah dan diduga mereka simpatisan dan pendukung Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).  Sejumlah temuan aparat keamanan terhadap teror  beberapa waktu terakhir  menunjuk pelakunya terlibat NIIS. Aparat hukum memerlukan payung hukum agar bisa menangkap mereka. Menurut  Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tercatat sedikitnya 150-an orang Indonesia yang kembali dari Suriah –mereka diduga terlibat dalam NIIS sepanjang 2014-2015.

Dalam kaitan itu pula RUU ini kemudian menetapkan  jangka waktu penahanan seseorang. Jika sebelumnya UU No. 15/2003 mengatur masa penahanan seseorang maksimal 7x24 jam,  dalam RUU ini aparat bisa menahan orang sampai 30 hari. Selain itu, mereka yang terbukti, misalnya, mengikuti pelatihan terorisme di luar negeri, paspornya bisa  dicabut.

Penambahan masa tahanan inilah yang menjadi sorotan para aktivis HAM seperti, antara lain, yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil (KMP). Menurut Koalisi panjangnya kewenangan penangkapan adalah melanggar prinsip-prinsip HAM, termasuk konvensi internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICEAFRD). 

Koalisi juga menyoroti sejumlah pasal lain yang dinilai melanggar HAM, seperti pencabutan kewarganegaraan mereka yang mengikuti pelatihan  tindak pidana terorisme dan konsep deradikalisasi yang memberi wewenang aparat hukum menempatkan seseorang di satu tempat selama enam bulan. Koalisi menilai  RUU ini tidak membahas secara jelas bentuk pertangungjawaban aparat dalam melakukan operasi pemberantasan terorisme.

Koalisi menunjuk sejumlah fakta kerap terjadinya salah tangkap terhadap seseorang yang diduga pelaku terorisme. Ini, misalnya,  seperti yang menimpa Siswoyo di Jawa Tengah.  Koalisi juga menunjuk catatan Komnas  HAM yang menghitung  ada sekitar 210 orang yang diduga melakukan terorisme tewas tanpa menjalani proses peradilan terlebih dahulu.

Dalam kerangka hak asasi manusia , menurut peneliti pada Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu,  tindakan demikian masuk kategori extrajudicial killing atau pembunuhan yang dilakukan di luar sistem hukum. Atas kritik itu,  Ketua Panitia Khusus RUU Terorisme, Muhammad Syafi’i menyatakan pihaknya menerima  semua masukan itu. Menurut dia, prinsipnya, RUU tidak membuka celah terjadinya pelanggaran HAM

Salah satu yang menjadi perdebatan  alot dalam pembahasan RUU adalalah pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Sebelumnya, menurut Undang-Undang yang ada, aparat yang memegang kendali dalam pemberantasan terorime adalah kepolisian  -hal yang kemudian antara lain melahirkan Densus 88 –satuan khusus melawan terorisme.

Pelibatan TNI itu merupakan usul  pemerintah. DPR sendiri terpecah dalam menanggapi hal ini.  Dengan pelibatan TNI ini praktis “kendali”  pemberantasan terorisme tidak hanya  pada kepolisian. Selama ini TNI sebenarnya juga beberapa kali terlibat dalam penangkapan  para teroris seperti yang terjadi terhadap Santoso dan  kelompoknya di Poso. Namun, Pemerintah menilai  pelibatan itu mesti diperkuat  lewat aturan dalam undang-undang terorisme.

Kendati pelibatan TNI tersebut mendapat tentangan para aktivis HAM dan sejumlah anggota Pansus, toh lobi-lobi yang dilakukan secara intensif oleh pemerintah akhirnya berhasil memasukkan “pasal keterlibatan TNI” itu dalam RUU ini. Presiden Joko Widodo sendiri juga meminta  TNI dilibatkan dalam pemberantasan terorisme.

Menurut Syafi’i pelibatan TNI itu tidak berstatus BKO (Bawah Kendali Operasi). Artinya, TNI akan selalu dilibatkan dalam setiap upaya pemberantasn terorisme.

Menurut Syafi’I dengan ketentuan seperti ini, maka leading sector pemberantasan terorisme dipegang Badan Nasional Penanggulan Terorisme (BNPT). Pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme dalam undang-undang juga akan diatur lebih detail lewat aturan peraturan presiden.  

***

Ada di RUU ada Pula di UU TNI

Tanpa masuk Undang-Undang Terorisme sebenarnya TNI juga memiliki wewenang memberantas terorisme. Aturan itu ada dalam UU TNI.

 

Masuknya peran TNI dalam draf RUU Antiterorisme:

 Pasal 43B:

Ayat 1
Kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

UU No.34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia

Pasal 7 ayat (1):
Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Dalam bagian penjelasan, yang merupakan ancaman dan gangguan di pasal 7 ayat (1) antara lain:
Aksi teror bersenjata yang dilakukan oleh teroris internasional atau bekerja sama dengan teroris dalam negeri atau oleh teroris dalam negeri 

Yang Baru dalam RUU Antiterorisme

Pasal 12A

(1) Setiap Orang yang dengan maksud dan melawan hukum mengadakan

hubungan dengan setiap orang yang berada di dalam negeri dan/atau

di luar negeri atau negara asing akan melakukan atau melakukan

Tindak Pidana Terorisme di Indonesia atau di negara lain, dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12

(dua belas) tahun.

(2) Setiap Orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut orang

untuk menjadi anggota korporasi yang dinyatakan sebagai korporasi

terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun

dan paling lama 7 (tujuh) tahun.

(3) Pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang mengarahkan kegiatan

Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)

tahun.

Pasal 14

Setiap orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk

melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal

6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, dan

Pasal 12B, dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup,

atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.

LESTANTYA R. BASKORO, CITRA

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Timur Tengah Memanas, Polri Diminta Waspadai Kebangkitan Sel Terorisme di Indonesia

2 hari lalu

Pemandangan menunjukkan drone atau rudal berlomba-lomba mencari sasaran di lokasi yang dirahasiakan di Israel utara, awal 14 April 2024. Menurut IDF tentara Israel pada awal 14 April Iran meluncurkan rudal dari wilayahnya menuju wilayah Negara Israel. IDF menyerukan masyarakat untuk waspada dan bertindak sesuai dengan pedoman Home Front Command. EPA-EFE/ATEF SAFADI
Timur Tengah Memanas, Polri Diminta Waspadai Kebangkitan Sel Terorisme di Indonesia

Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) meminta Polri mewaspadai aktifnya sel terorisme di Indonesia saat konflik Timur Tengah memanas


BNPT Dukung Pencapaian Visi Indonesia Emas 2045

20 hari lalu

BNPT Dukung Pencapaian Visi Indonesia Emas 2045

Sekretaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) Bangbang Surono, A.k, M.M, CA., optimis BNPT mampu berperan dan berdampak dalam mendukung tercapainya visi Indonesia Emas 2045.


Serangan Teror di Rusia, Kremlin: Tidak Ada Negara yang Kebal dari Terorisme

23 hari lalu

Seorang tersangka penyerangan penembakan di tempat konser Balai Kota Crocus dikawal di dalam pengadilan distrik Basmanny di Moskow, Rusia 24 Maret 2024. REUTERS/Shamil Zhumatov
Serangan Teror di Rusia, Kremlin: Tidak Ada Negara yang Kebal dari Terorisme

Juru bicara Kremlin menepis adanya kegagalan dinas keamanan Rusia dalam mencegah penembakan di Moskow.


Rusia Pertanyakan Klaim ISIS sebagai Dalang Serangan: Ini Upaya AS Lindungi Ukraina!

23 hari lalu

Saidakrami Murodali Rachabalizoda, tersangka penembakan di tempat konser Balai Kota Crocus, duduk di balik dinding kaca kandang terdakwa di pengadilan distrik Basmanny di Moskow, Rusia 24 Maret 2024. REUTERS/Shamil Zhumatov
Rusia Pertanyakan Klaim ISIS sebagai Dalang Serangan: Ini Upaya AS Lindungi Ukraina!

Rusia menantang pernyataan Amerika Serikat bahwa ISIS menjadi dalang penembakan di sebuah gedung konser di luar Moskow yang menewaskan 137 orang


Beredar Video Interogasi Brutal Empat Pria Tersangka Serangan Moskow

23 hari lalu

Seorang tersangka penyerangan penembakan di tempat konser Balai Kota Crocus dikawal di dalam pengadilan distrik Basmanny di Moskow, Rusia 24 Maret 2024. REUTERS/Shamil Zhumatov
Beredar Video Interogasi Brutal Empat Pria Tersangka Serangan Moskow

Video interogasi brutal empat tersangka serangan Moskow yang belum terverifikasi beredar luas, salah satu tersangka ada yang menggunakan kursi roda.


Sestama BNPT Ajak Seluruh Pihak Dukung Pembaharuan Perpres RAN PE

29 hari lalu

Sestama BNPT Ajak Seluruh Pihak Dukung Pembaharuan Perpres RAN PE

Sekretaris Utama (Sestama) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI), Bangbang Surono, mengharapkan dukungan dari semua pihak agar pembaharuan Perpres RAN PE bisa berjalan dengan lancar.


BNPT Gandeng Kemendes PDTT Sukseskan Desa Siapsiaga

44 hari lalu

BNPT Gandeng Kemendes PDTT Sukseskan Desa Siapsiaga

Program Desa Siapsiaga merupakan pelibatan semua unsur masyarakat di desa dalam mencegah terorisme.


Peran Perempuan dalam Terorisme Harus Dilihat Secara Holistik

52 hari lalu

Peran Perempuan dalam Terorisme Harus Dilihat Secara Holistik

Executive Board Asian Moslem Network (AMAN) Indonesia, Yunianti Chuzaifah, menyoroti kaitan kaum perempuan Indonesia dengan terorisme tak hanya terjadi di ruang publik, melainkan juga di ruang domestik.


Tabrak Satu Keluarga Muslim Hingga Tewas, Pria Kanada Dihukum Seumur Hidup

54 hari lalu

Keluarga Afzaal di Kanada terbunuh ketika Nathaniel Veltman menabrak mereka karena membunuh ayah, ibu, dan kedua putri mereka.  Korban ketiga, bocah lelaki berusia 10 tahun, mengalami luka-luka. Foto: X
Tabrak Satu Keluarga Muslim Hingga Tewas, Pria Kanada Dihukum Seumur Hidup

Seorang pria Kanada pada Kamis dihukum seumur hidup setelah menabrak hingga tewas empat anggota keluarga Muslim pada 2021


Cegah Teroris, Tito Minta BNPT Buat Program untuk yang Terpapar Paham Takfiri dan Jihadi

57 hari lalu

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat ditemui usai acara pemberian penghargaan insentif fiskal kepada pemerintah daerah di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta pada Selasa, 3 Oktober 2023. TEMPO/Amelia Rahima Sari
Cegah Teroris, Tito Minta BNPT Buat Program untuk yang Terpapar Paham Takfiri dan Jihadi

Plt Menkopolhukam Tito Karnavian meminta BNPT membuat sejumlah program untuk mencegah terorisme di Indonesia