TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dan DPR masih terus merumuskan sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Pidana (RKUHP) yang menjadi sorotan publik. Bergeser dari agenda yang ditentukan, Senin, lalu DPR dan Pemerintah membahas pasal penghinaan terhadap kepala negara.
Kepada wartawan, Wakil Presiden Jusuf Kalla, kemarin, menyatakan presiden adalah lambang negara, karena itu menghina presiden bisa dimaknai menghina negara. Wakil Presiden menyebut pasal penghinaan perlu penegasan sehingga tidak bisa bersifat "pasal karet." Pemerintah dan DPR menyatakan, pasal penghinaan tidak akan menjerat mereka yang mengeritik presiden karena pemakaian pasal itu ada syaratnya.
Pasal 238 ayat 2 RKUHP berbunyi, “Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. “
Baca: Hampir Setengah Abad untuk Membahas RKUHP
Walau Pemerintah dan DPR sudah sepakat pasal penghinaan masuk dalam RKUHP, tapi detail tentang penghinaan ini belum mencapai satu kata.
Pemerintah menginginkan pasal penghinaan merupakan delik umum –sehingga aparat bisa menindak tanpa adanya pengaduan- sementara DPR menginginkan sebagai delik aduan. “Sebaiknya untuk norma ini adalah delik aduan,” kata Ketua Tim Perumus RKUHP DPR, Benny K. Herman.
Besarnya ancaman hukuman terhadap penghina presiden juga belum tercapai kata sepakat. DPR menginginkan ancaman hukuman di bawah lima tahun. Dengan ancaman hukuman seperti ini, maka mereka yang dijadikan tersangka dengan tuduhan melanggar pasal penghinaan presiden tersebut tak perlu ditahan.
Dua pasal lain yang belum selesai pembahasannya adalah pasal mengenai percabulan sesama jenis (Pasal 495) dan pasal tentang perjudian dan tindak pidana khusus terkait korupsi swasta.
Sejumlah aktivis HAM mengeritik munculnya “Pasal LGBT” karena dianggap berpotensi untuk mengkriminalkan invidividu hanya karena masalah orientasi seksnya.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), misalnya, meminta pengesahan RKUHP ditunda. Komnas mengajukan permintaan itu berdasar kajian, monitoring, serta berbagai masukan dari masyarakat. “Untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang berperspektif hak asasi manusia, penundaan pengesahan RKUHP jalan terbaik untuk saat ini,” kata Komisioner Komnas HAM Mochamad Choirul Anam.
Baca: Pengesahan RKUHP Kemungkinan Besar Mundur.
LRB