TEMPO.CO, Jakarta -Setelah diserang secara bertubi-tubi, ustad R. Prawoto, Komandan Brigade Persatuan Islam Pusat, meninggal dunia, awal Februari lalu. Sebelumnya, KH Umar Basri, pemimpin Pondok Pesantren Al Hidayah, Cicalengka, Jawa Barat, dihajar bertubi-tubi hingga harus menjalani perawatan serius, akhir Januari lalu.
Dalam sebuah perbincangan, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), KH Masduki Baidlowi, menyatakan ia baru saja mengunjungi sebuah kabupaten di Jawa Timur. Di sana, kata Kiai Masduki, terjadi pencabutan sekian banyak bendera Merah Putih dan bendera NU.
Bagaimana sebenarnya kondisi kejiwaan pelaku penganiayaan para tokoh agama dan pelaku pencabutan bendera tersebut? Semuanya serupa: para pelaku disebut mengidap gangguan kejiwaan. Situasi yang membangkitkan ingatan tentang peristiwa Naga Hijau bertahun-tahun silam di Banyuwangi. Kala itu, banyak ulama NU dihabisi dengan tuduhan sebagai dukun santet. Ada sinyalemen bahwa pelakunya adalah orang-orang sakit.
Tidak semua jenis gangguan kejiwaan bisa membuat pelaku kejahatan lolos dari hukum dengan memanfaatkan Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal itu menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana jika cacat kejiwaan atau terganggu karena penyakit. Jadi, harus dipastikan seakurat mungkin diagnosis kejiwaan si pelaku.
Juga, andai si pelaku diketahui mempunyai gangguan kejiwaan, masih perlu dicek sejak kapan ia menderita gangguan tersebut? Jika gangguan baru muncul setelah ia melakukan aksi kejahatan, perbuatan jahatnya sesungguhnya ditampilkan saat ia masih waras. Karena itu, seharusnya tetap ada pertanggungjawaban secara pidana.
Mungkin para pelaku adalah pengidap skizofrenia. Orang-orang dengan skizofrenia diketahui memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan kekerasan ketimbang populasi umum. Kesimpulan atas hasil riset tersebut mempunyai sejumlah implikasi penting.
Pertama, semoga pelaku penganiayaan bukanlah orang skizofrenia yang dikondisikan untuk menyerang para pemuka agama, mencabuti bendera organisasi masyarakat, dan melakukan tindakan-tindakan meresahkan lainnya. Dengan asumsi bahwa perbuatan mereka murni berangkat dari ketidakwarasan, maka berbagai isu dan spekulasi di balik kejadian-kejadian di atas bisa dibendung.
Kedua, apabila orang-orang mengalami gangguan jiwa diprogram untuk menjadi mesin pembunuh, mereka sebatas eksekutor di lapangan. Jauh lebih penting adalah mencari dan meminta pertanggungjawaban pihak yang menjadi otak dari operasi keblinger tersebut.
Ketiga, mereka yang menjadi sorotan pada tulisan ini bukan semata-mata sekumpulan individu yang mengidap kondisi psikologis abnormal. Di samping kemungkinan adanya abnormalitas psikologis, mereka adalah pelaku kejahatan. Atas dasar itu, penyelidikan forensik perlu lebih dikedepankan ketimbang klinis. Konkretnya, patut untuk tetap diduga bahwa mereka hanya berpura-pura sakit, bukan benar-benar sakit. Dalam banyak kasus, modus malingering sedemikian rupa dipakai sebagai cara pelaku kejahatan untuk menghindari hukuman. Malingering adalah istilah kedokteran bagi orang yang pura-pura sakit demi menghindari tanggung jawab.
Keempat, sebiadab apa pun aksi kriminalitas yang mereka lakukan, orang skizofrenia maupun pengidap tipe kelainan psikis lainnya memang tidak bisa dihukum. Tapi polisi seharusnya tetap mencari pihak-pihak yang semestinya menjaga orang-orang tersebut.
Mengapa demikian? Orang yang seharusnya menjaga mereka itu telah melanggar Pasal 491 KUHP. Pasal itu menyebutkan bahwa orang yang diwajibkan menjaga orang gila, yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain, tapi membiarkan dia berkeliaran tanpa dijaga dapat diancam dengan pidana denda paling banyak Rp 750 ribu.
Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi Forensik University of Melbourne.