Kementerian Dalam Negeri mestinya tidak perlu membuat kesepakatan dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung perihal laporan dugaan korupsi oleh birokrat. Nota kesepahaman tiga lembaga ini membuat keinginan negeri ini bebas dari korupsi menjadi jauh lagi. Presiden Joko Widodo perlu menegur bawahannya karena nota ini jusru berpotensi menyuburkan korupsi. Kesepahaman ini mesti dibatalkan.
Kesepakatan itu diteken Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, dan Badan Reserse Kriminal Polri, Rabu pekan lalu. Isinya, birokrat diberi waktu maksimal 60 hari mengembalikan uang kerugian negara sejak menerima lapora dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP). Dengan pengembalian uang itu maka kepolisian dan kejaksaan tak akan akan melakukan penyelidikan.
Sepintas kesepakatan itu baik. Ada kerugian negara yang dikembalikan yang, dengan demikian, logikanya, negara tak mengalami kerugian.
Namun, dilihat dari esensi dan semangat pemberantasan korupsi, yang juga tertuang dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi yang kemudian, antara lain melahirkan revisi UU Pemberantasan Korupsi, memorandum of understanding (MOU) tiga lembaga negara itu jelas menyalahi semangat pemberantasan korupsi. Kesepakatan itu, sebaliknya, memberi ruang kepada aparat birokrat untuk melakukan korupsi.
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi memang tidak serta merta menyatakan tersangka pelaku korupsi dibebaskan sejauh ia telah mengembalikan uang yang dikorupsinya. Tindak pidana seseorang -dalam hal ini pelaku korupsi- tidak serta merta hilang apabila ia mengembalikan uangnya. Karena itulah, kita melihat, para koruptor yang mengembalikan uang yang dikorupsinya tetap diajukan ke depan pengadilan.
Semangat pembentukan undang-undang pemberantasan korupsi adalah mencegah sedini mungkin terjadinya tindak pidana korupsi. Pasal-pasal ancaman yang ada dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No.31/1999) dibuat dengan tujuan seseorang, bahkan sejak dalam pikirannya, takut melakukan korupsi karena ancaman hukuman yang berat. Karena itu korupsi didefinisikan luas: memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain, hingga merugikan negara.
Konsekuensi MOU yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian memberi pemikiran bahwa negara memaafkan pelaku korupsi sejauh ia telah mengembalikan uang negara. Kesepakatan itu pada akhirnya membuat birokrat, aparatur sipil negara, justru akan mencoba-coba melakukan korupsi dengan pertimbangan, jika pun ketahuan, tak akan diproses secara hukum, asal uang yang dikorupsi segera dikembalikan. Waktu 60 hari mengembalikan semakin memberi ruang bagi pelaku korupsi tidak hanya untuk menikmati hasil korupsi, juga meminjam ke sana ke mari jika tak memiliki uang untuk mengembalikan uang negara yang dikorupsi.
Kementerian Dalam Negeri telah melakukan hal yang sangat kontradiksi dalam pemberantasan korupsi yang justru didengung-dengungkan Presiden Joko Widodo.
LESTANTYA R. BASKORO