TEMPO.CO, Jakarta -Pengacara David Tobing. Dialah si Daud kecil yang terus menerus melancarkan perang suci David versus Goliat, melawan orang-orang kuat yang tak menghiraukan hak-hak konsumen.
*
SAYA lahir pada 12 September 1971, di rumah sakit Raden Saleh yang hingga saat ini masih beroperasi di bangunan lama bekas Belanda yang masih terawat. Saya anak pertama dari tiga bersaudara. Semua laki-laki, adik saya yang nomor dua Joseph Amudi Tobing lahir ketika umur saya dua tahun. Lalu adik bungsu saya Bontor Octavianus Tobing lahir dua tahun kemudian, tutur pengacara David Tobing dalam biografinya Belajar Membela Konsumen.
Di kantornya yang sejuk, bermesin pendingin kuat, di Wisma Bumiputra, kawasan Sudirman yang elite, pengacara David Maruhum Lumban Tobing bercerita tentang dirinya, masa lalunya dan dunianya yang sepi -- karena sepertinya dialah satu-satunya pembela hak konsumen dewasa ini. Pengacara yang satu ini memang terbilang aneh. Bukannya sibuk memburu klien yang bakal membuatnya tajir, mengoleksi mobil mewah dan lukisan antik, mempertajam kemahiran bermain golf di rerumputan hijau, atau kongko-kongko di kafe eksklusif bersama rekan seprofesi, David Tobing justru lebih banyak menghabiskan waktu mendengarkan klien yang tak berdaya melawan pihak yang memiliki otoritas besar, tapi tak hirau akan hak konsumen.
Baca: David Tobing: Mendengar Musik Sambil Mengemudi Bukan Pelanggaran.
Geregetan menyaksikan sejumlah pengusaha umrah yang menangguk begitu banyak keuntungan dari keinginan beribadah konsumennya ke tanah suci, mewakili 204 calon jamaah
Umroh yang menjadi korban dugaan ingkar janji PT Utsmaniah Hannien Tour (Hannien Tour), David mendaftarkan gugatannya ke Pengadilan Negeri Cibinong. "Para calon jamaah menilai Hannien telah melakukan tindakan ingkar janji karena tidak memberangkatkan para calon jamaah sesuai jadwal yang telah disepakati," kata David yang mengepalai Tim Advokasi Calon Jamaah Umrah Korban Hannien Tour. Selain ditujukan kepada jajaran direksi perusahaan, gugatan yang terdaftar dengan nomor 23/Pdt.G/2018/PN.Cbi ini juga dilayangkan kepada Kementerian Agama.
"Konsumen umrah paling gampang tertipu, jumlahnya kan puluhan ribu. Gak boleh sembarangan memberikan izin kepada biro umrah yang modalnya cuma sedikit, tapi tatacara penawarannya melanggar kaidah-kaidah penjualan," katanya. Kendati harus diakui, ledakan permintaan umrah membuat Direktorat Haji dan Umrah --yang didukung sedikit personel ini-- tak dapat berbuat banyak. "Di sini tampak peran pemerintah yang sangat minim," ujarnya. Keengganan konsumen untuk membaca brosur secara kritis, ditambah promosi gencar tour umrah yang sifatnya tidak terbuka alias dari mulut ke mulut, disertai seribu satu cara para pengusaha untuk menggaet pelanggan, semua ini acapkali membuat para jemaah umrah tak berdaya.
David L Tobing. ANTARA/Puspa Perwitasari
Menghabiskan masa remajanya di antara masyarakat Betawi yang beragama Islam di Jalan Penegak, Matraman, David bukan saja tak pernah memandang perbedaan agama sebagai kendala untuk menolong kliennya secara gratis, tapi juga membuat ia kehilangan logat bataknya. "Logat betawi ini perlahan-lahan saya coba hilangkan ketika saya mulai kuliah," katanya. Kendati begitu, "hingga kini saya merasa nyaman saja menyebut diri saya gue, bahkan ketika berbincang-bincang dengan orang tua."
Harus berjuang menghadapi pengusaha umrah yang nakal, pada bulan Februari yang sama, hati David sebenarnya sempat melambung ringan. Tak begitu lama setelah mencatatkan gugatan 69/pdt G/2018/PN.Jkt Utr selaku kuasa hukum Eko Agus Sistiaji, tercapailah kesepakatan untuk menyelesaikan masalah perselisihan produsen-konsumen di luar persidangan. Honda akhirnya bersedia mengganti mobil Honda Civic Eko dengan unit baru buatan tahun 2018 dan memberian perawatan gratis selama tiga tahun atau 50.000 kilometer -- dengan penggantian suku cadang dan ongkos kerja yang juga gratis. Eko Agus Sistiaji adalah pemilik Honda Civic Turbo yang lalu menuntut Honda ke pengadilan lantaran perusahaan tersebut telah mengganti mesin mobil tanpa izin pemiliknya.
"Saya gak munafik, klien kami juga banyak industriawan. Tapi begitu mau memakai jasa saya, saya selalu jelaskan bahwa kita juga menegakkan perlindungan konsumen, dan bagaimana pelaku usaha itu harus memenuhi syarat-syarat perlindungan," jelas David kepada Lawmag di kantornya. Karena itu pula, sejak ia dan rekannya Agus Sutopo mendirikan firma hukum Adams & Co --akronim Agus David Maruhum Sutopo-- di sebuah ruangan seluas 89 meter persegi di lantai 6, Wisma Bumiputra, Sudirman, dua pengacara ini sudah sepakat mengalokasikan 30 persen penghasilan mereka untuk perjuangan hak konsumen.
Seperti si kecil Daud melawan Talut atau Goliat, belum genap setahun setelah kelahiran Undang-undang Perlindungan Konsumen, pengacara lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang juga menyandang gelar Master Notariat ini melancarkan perang suci terhadap perusahaan-perusahaan pelanggar hak konsumen. Serangan pertamanya ditujukan kepada pengusaha parkir yang melepaskan diri dari tanggungjawab, ketika Hontas Tambunan, seorang pemuda yang kehilangan mobilnya di perparkiran Cempaka Plaza Mas pada 2000.
Waktu seakan-akan tak berpihak kepadanya. Kenyataan bahwa Hontas kehilangan mobilnya di perparkiran itu pada Maret 2000 ternyata menyulitkan perjuangan pembelanya di meja hijau kelak, karena Undang-Undang Konsumen --yang sebenarnya sudah disahkan pada 20 April 1999-- baru berlaku setahun kemudian, yakni April 2000. "Saya bimbang untuk melanjutkan rencana mengajukan gugatan sebagaimana permintaan Hontas. Soalnya ini bukan perkara mudah. Dari segi usia saya masih muda. Saya bukan pengacara senior, masih miskin pengalaman," katanya. Selain itu, dalam karcis parkir tercantum klausula baku yang sudah dianggap sebagai kebenaran hukum.
Klausula itu berbunyi,"Pihak pengelola (parkir) tidak bertanggungjawab atas segala kehilangan, kerusakan, kecelakaan atas kendaraan atau pun kehilangan barang-barang yang terdapat di dalam kendaraan dan atau yag mmenimpa orang yang menggunakan area parkir pihak pengelola." Klausula yang juga terpajang di area parkir tempat Hontas kehilangan mobilnya ini repotnya juga didukung oleh Pasal 36 ayat 2 Peraturan Daerah (Perda) DKI no 5 tahun 1999 yang menegaskan bahwa kehilangan kendaraan merupakan tanggungjawab pemakai tempat parkir. Sempat ragu-ragu lantaran harus membayar uang sewa kantor, akhirnya dan David Tobing dan rekan sekantornya, Sutopo, setuju untuk melayangkan gugatan ini secara cuma-cuma.
Kisah yang penuh kesulitan rupanya berujung happy end. David masih ingat, Selasa, 26 Juni 2001, pada sebuah sidang terbuka Majelis Hakim mengabulkan sebagian gugatan dan menyatakan pengelola parkir melakukan perbuatan melawan hukum. Hilangnya mobil Hontas, menurut Majelsi Hakim, terjadi akibat pengelola parkir yang tak sanggup menjaga keamanan, dan atas kelalaian ini pengelola parkir memiliki andil dalam hilangnya mobil Hontas. Satu lagi yang menggembirakan, hakim juga menyatakan bahwa klausula yang menyebutkan perparkiran tak bertanggungjawab atas kehilangan dan kerusakan itu "cacat hukum." Sebab pengendara mobil yang memasuki area parkir tak punya pilihan kecuali memarkir kendaraannya di sana. Atas pertimbangan ini semua, majelis hakim kemudian mengharuskan pengelola jasa parkir membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 60 juta, dan kerugian immateril Rp 15.000.
Dalam perkembangannya, pengusaha pengelola parkir mengajukan banding. Namun Mahkamah Agung akhirnya menolak Penunjauan Kembali (PK) yang mereka ajukan dan mereka harus membayar kerugian Rp 60 juta kepada Hontas.
IDRUS SHAHAB