Ketika Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Raharjo yang geregetan melihat banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi di saat-saat menjelang pilkada itu kemudian berjanji akan mengumumkan sejumlah calon peserta pilkada yang akan menjadi tersangka korupsi, sebenarnya ia tidak sekedar ingin membersihkan proses demokrasi lima tahunan ini dari najis korupsi.
Menolak imbauan Menko Polhukam Wiranto agar KPK menangguhkan pengumuman sampai hasil pemilihan menetapkan si pemenang, KPK sebenarnya telah memperlihatkan suatu independensi sekaligus perlawanannya terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi yang menempatkannya sebagai bagian dari eksekutif.
Baca: KPK Klarifikasi Kegiatan Pencegahan Yang Libatkan Zumi Zola.
Putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan permintaan uji materi Pasal 79 ayat 3 UU tentang MPR, DPR, DPRD ini menyatakan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) bagian dari eksekutif dengan konsekuensi lembaga ini tidak lagi independen. Dasar hukum MK menunjukkan bahwa KPK bagian dari eksekutif dan bisa dikenakan hak angket karena lembaga ini melakukan fungsi eksekutif, seperti hanya lembaga kepolisian dan kejaksaan. Dan karena KPK bisa dikenakan hak angket, ia pun terancam akan kehilangan kewenangan melakukan untuk penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Sangat dapat dimengerti jika kemudian protes terhadap Agus yang paling keras terdengar dari partai-partai yang telah menjalani proses panjang serta rahasia, sebelum akhirnya mereka menetapkan calon kepala daerah yang dijagokannya. Jika nama calon yang selama ini telah diusungnya kemudian tercantum di dalam daftar calon tersangka KPK, sia-sialah apa yang diperjuangkannya. Kendati, harus diakui bahwa ini merupakan “karma” atau konsekuensi logis atas partai-partai yang selama ini menomerduakan faktor integritas, dan menomorsatukan variabel lainnya tatkala menyeleksi calon-calonnya yang akan berlaga di medan pilkada.
Baca: Lubang Korupsi dalam Mou Antara Kemendagri, Kepolisian, Kejaksaan.
Di bawah kondisi apa pun sesungguhnya politik harus tunduk pada prinsip equality before the law yang termaktub dalam pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa semua orang berada pada kedudukan yang sama di hadapan hukum.
IDRUS F. SHAHAB