Main Mata Ketua Mahkamah Konstitusi

Kamis, 18 Januari 2018 07:52 WIB

(dari kiri) Ketua Dewan Etik Mahkamah Konstitusi (MK) Ahmad Rustandi, anggota Dewan Etik MK Salahuddin Wahid, dan Humas MK Rubiyo saat konferensi pers pengumuman pelanggaran etik oleh Ketua MK Arief Hidayat di gedung MK, Jakarta, 16 Januari 2018. Dalam keterangan persnya, Dewan Etik MK menyatakan bahwa Ketua MK Arief Hidayat terbukti bersalah dan mendapatkan peringatan ringan karena melakukan pertemuan dengan anggota DPR RI tanpa ada surat undangan resmi. TEMPO/Amston Probel

Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat tak pantas lagi menduduki jabatannya, bahkan sebagai hakim konstitusi. Dua tindakan yang dilakukannya tidak hanya menunjukkan “derajat” kepribadiannya, tapi juga telah mencoreng lembaga yang dipimpinnya: Mahkamah Konstitusi. Mahkamah yang sebelumnya pernah terpuruk karena dua ketuanya tersangkut kasus korupsi.

Selasa lalu Dewan Etik Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Achmad Roestandi dan beranggota Salahuddin Wahid serta Bintan R. Saragih menyatakan Arief telah melakukan pelanggaran etik sebagai hakim konstitusi. Tidak bulat putusan yang diambil Dewan Etik. Satu menyatakan yang dilakukan Arief pelanggaran etik berat, satu menyebut pelanggaran etik ringan, dan satu lain menyatakan perbuatan yang dilakukan Arief tak melanggar kode etik hakim konstitusi. Baca: Dewan Etik Beri Sanksi Ringan Kepala Arief Hidayat

Arief dinyatakan melakukan pelanggaran kode etik ringan -dengan saksi teguran lisan- karena melakukan pertemuan dengan Komisi III DPR -Komisi yang membidangi hukum- tanpa undangan resmi kepada Mahkamah Konstitusi. Pertemuan itu membicarakan perihal uji kelayakan Arief sebagai calon hakim konstitusi periode kedua. Masa jabatan Arief sebagai hakim konstitusi akan berakhir pada April 2018 dan Arief berhasrat tetap ingin menjadi hakim konstitusi.

Pertemuan pertama dilakukan di sebuah hotel dengan dihadiri antara lain, sejumlah pimpinan Komisi III. Setelah itu, Arief juga menghadiri rapat dengan Komisi III membicarakan kesediaannya untuk menjadi hakim konstitusi kembali. Dewan Etik menyebut yang dilakukan Arief itu tak pantas. Ada pelanggaran karena mestinya acara atau undangan seperti ini melalui pemberitahuan secara resmi kepada lembaga Mahkamah Konstitusi. Dewan Etik, sebelum menjatuhkan putusan, juga telah meminta keterangan sejumlah anggota Komisi Hukum dan di antaranya mengaku memang terjadi lobi-lobi politik dalam pertemuan tersebut.

Walau beberapa anggota lain yang diminta keterangannya oleh Dewan Etik menyatakan tak ada lobi-lobi politik, tapi sulit untuk tidak menduga tak terjadi “lobi-lobi” atau “janji-janji politik” dalam pertemuan tersebut. DPR sebagai lembaga politik, anggota Dewan sebagai politikus, tentu memiliki kepentingan dengan menyetujui Arief menjadi hakim konstitusi lagi. Apalagi, tugas Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan produk politik yang dihasilan DPR, melakukan uji materi terhadap undang-undang yang dibuat DPR.

Advertising
Advertising

Karena itu pada pertemuan di sebuah hotel pada 23 Oktober 2017 tersebut -yang tentu saja pasti tertutup- sulit untuk tidak mencurigai telah terjadi deal-deal antara Arief dan DPR. Kita bisa menyebut, sebagai hakim, Arief telah “main mata” dengan lembaga yang akan menentukan terus-tidaknya ia sebagai hakim konstitusi.

Ini untuk kedua kalinya Arief melakukan tindakan yang membuat publik bertanya: ada apa dengan Ketua Mahkamah Konstitusi ini. Tindakan tercela pertamanya yang diketahui publik adalah saat ia membuat katabelece yang ditujukan kepada Jaksa Agung Pidana Khusus menyangkut seorang jaksa yang terhitung kerabatnya. Dalam kasus ini Jaksa Agung Pidana Khusus yang kemudian menjadi Jaksa Agung Muda Pengawasan, Widyo Pramono, telah mengklarifikasi tidak pernah menerima surat dari Arief. Ia menegaskan juga bukan kapasitasnya memindahkan seorang jaksa. Dalam posisi ini kita mencatat: Arief yang “aktif” melakukan tindakan itu. Tindakan yang bahkan sekadar “membantu” seorang keponakannya.

Hakim adalah jabatang agung. Hakim Konstitusi bahkan memiliki predikat yang jauh lebih berat ketimbang hakim agung. Ia, seperti dinyatakan Pasal 15 UU Mahkamah Konstitusi (UU No.24/2003), selain harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela juga memiliki sifat kenegarawan -hal yang tidak disyaratkan bagi hakim apa pun. Sifat seperti ini menuntut hakim konstitusi menjadi pribadi setengah dewa, sekaligus menjadi “mata air” panutan untuk bangsa. Negarawan tidak hanya dituntut bersih dan jujur, tapi tindakan dan yang dilakukan adalah demi kepentingan bangsa, bukan mengejar kepentingan pribadi.

Dalam hal yang dilakukan Arief, sesungguhnya ia telah tercela. Ia semestinya mundur dan meletakkan jabatannya,

LESTANTYA R. BASKORO

Berita terkait

Gerindra Tuding KPU Gelembungkan Suara NasDem di 53 Kecamatan Jawa Barat

5 jam lalu

Gerindra Tuding KPU Gelembungkan Suara NasDem di 53 Kecamatan Jawa Barat

Partai Gerindra menuding KPU menggelembungkan suara Partai NasDem di 53 kecamatan di Majalengka dan Subang, Jawa Barat.

Baca Selengkapnya

Bagaimana Peluang PPP Lolos ke Senayan Berbekal Gugatan ke MK?

8 jam lalu

Bagaimana Peluang PPP Lolos ke Senayan Berbekal Gugatan ke MK?

Pengamat politik menanggapi mengenai peluang PPP mendapatkan kursi DPR RI lewat permohonan sengketa pemilu ke MK.

Baca Selengkapnya

Sederet Fakta Sidang Perdana Sengketa Pileg di MK, Beda Posisi Anwar Usman dan Arsul Sani

1 hari lalu

Sederet Fakta Sidang Perdana Sengketa Pileg di MK, Beda Posisi Anwar Usman dan Arsul Sani

MK menggelar sidang perdana sengketa pileg DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten atau kota, dan DPD RI hari ini. Berikut sederet faktanya.

Baca Selengkapnya

PDIP Minta Perolehan Suara PSI dan Demokrat di DPRD Papua Tengah Dinihilkan

1 hari lalu

PDIP Minta Perolehan Suara PSI dan Demokrat di DPRD Papua Tengah Dinihilkan

PDIP meminta kepada MK agar perolehan suara PSI dan Partai Demokrat dalam pemilihan DPRD Provinsi Papua Tengah dijadikan nol.

Baca Selengkapnya

Daftar Gugatan dalam Sengketa Pileg di MK Mulai Hari Ini, Pemohon Telah Siapkan Bukti dan Saksi

1 hari lalu

Daftar Gugatan dalam Sengketa Pileg di MK Mulai Hari Ini, Pemohon Telah Siapkan Bukti dan Saksi

Sengketa Pileg 2024 di MK tidak hanya sekadar proses hukum, tetapi juga merupakan cerminan dari dinamika politik dan demokrasi di Indonesia. Apa saja gugatannya?

Baca Selengkapnya

MK Tukar Posisi Anwar Usman di Pleno jika PSI Jadi Pihak Terkait PHPU Pileg

1 hari lalu

MK Tukar Posisi Anwar Usman di Pleno jika PSI Jadi Pihak Terkait PHPU Pileg

MK akan mengganti Anwar Usman dengan hakim konstitusi lain apabila ada panel sengketa pemilu yang berkaitan dengan PSI

Baca Selengkapnya

MK Siapkan 3 Panel untuk Sengketa Pileg, ini Komposisi Hakimnya

1 hari lalu

MK Siapkan 3 Panel untuk Sengketa Pileg, ini Komposisi Hakimnya

Hari ini MK mulai menyidangkan sengketa pileg.

Baca Selengkapnya

Kontroversi Hakim MK Arsul Sani Tangani Sengketa Pileg PPP, Boleh atau Tidak?

1 hari lalu

Kontroversi Hakim MK Arsul Sani Tangani Sengketa Pileg PPP, Boleh atau Tidak?

Hakim MK Arsul Sani diperbolehkan menangani sengketa pileg terkait dengan PPP. Padahal sebelum jadi hakim MK, Arsul adalah politikus partai tersebut.

Baca Selengkapnya

Hakim MK Anwar Usman Gunakan Inhaler saat Sidang Sengketa Pemilu 2024

1 hari lalu

Hakim MK Anwar Usman Gunakan Inhaler saat Sidang Sengketa Pemilu 2024

Hakim MK Anwar Usman tampak menggunakan inhaler ketika menangani sidang sengketa pemilu 2024 pada hari ini.

Baca Selengkapnya

Penjelasan Hakim Saldi Isra soal Arsul Sani Tangani Sidang Sengketa Pileg PPP

1 hari lalu

Penjelasan Hakim Saldi Isra soal Arsul Sani Tangani Sidang Sengketa Pileg PPP

Hakim MK Saldi Isra menjelaskan, hakim konstitusi Arsul Sani tetap menangani sidang sengketa pileg untuk PPP. Tapi Arsul tak menggunakan haknya untuk memutus.

Baca Selengkapnya