TEMPO.CO, Jakarta - Sutradara film Benyamin Biang Kerok, Hanung Bramantyo, menilai “Biang Kerok” adalah sebuah ungkapan. Karena itu menurut sutradara terkenal tersebut, siapa pun bisa menggunakan kata-kata itu. “Memang film Benyamin Biang Kerok adalah remake dari Film Biang Kerok tahun 1972. Tapi saya tidak diminta oleh Falcon mengikuti cerita Biang Kerok karya Pak Syamsul,” kata Hanung kepada Tempo.
Film Benyamin Biang Kerok yang disutradarai Hanung kini menjadi urusan hukum. Syamsul Fuad, penulis cerita Benyamin Biang Kerok, yang dirilis pada 1972, menggugat film Benyamin Biang Kerok (2018) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pihak Syamsul memakai UU Hak Cipta untuk memperkarakan film yang kini masih diputar pada bioskop-bioskop terkemuka. Pasal 17 UU Hak Cipta (UU No. 28/2014) menyatakan, “Hak ekonomi atas suatu ciptaan tetap berada di tangan pencipta atau pemegang hak cipta selama pencipta atau pemegang hak cipta tidak mengalihkan seluruh hak ekonomi dari pencipta atau pemegang hak cipta tersebut kepada penerima pengalihan hak atas ciptaan.”
Syamsul Fuad, 81 tahun, menyatakan dirinya yang pertama menulis cerita film Benyamin Biang Kerok sekaligus memberi judul fim tersebut. Kepada wartawan Fuad bercerita, ketika itu ia juga yang membujuk Benyamin agar bersedia main film dengan cerita yang ditulisnya tersebut.
Syamsul Fuad menggugat PT Falcon Pictures, PT Max Kreatif International (Max Pictures), Nirmal Hiroo Bharwani (HB Naveen), dan Ody Mulya Hidayat karena dianggap mengambil hak cipta film Benyamin Biang Kerok tanpa ijin dari dirinya.
Menurut Syamsul pihak perwakilan Falcon pernah datang kepada dirinya dan saat itu ia meminta bertemu dengan Executive Produser Falcon Pictures, HB Naveen, untuk membicarakan sejumlah hal terkait film tersebut, antara lain pencantuman namanya sebagai penulis cerita dan meminta hak ekonomis atas film tersebut.
Baca: Hanung Tidak Tahu Filmnya, Benyamin Biang Kerok Digugat ke Pengadilan.
HB Naveen, dalam pers releasenya, menyatakan Benyamin Biang Kerok (2018) bukan film daur ulang. Naveen menyatakan, Falcon membeli hak cipta film Benyamin Biang Kerok pada 2010.
Syamsul mendaftakan gugatannya pada 5 Maret lalu dan mengajukan 12 poin gugatan. Antara lain: pengadilan menyatakan dirinya pemegang hak cipta film Benyamin Biang Kerok; pengadilan menyatakan pihak tergugat melakukan pelanggaran hak cipta; menuntut ganti rugi Rp 1 miliar; dirinya berhak mendapat royalti tikel penjualan film Benyamin Biang Kerok Rp 1.000 per tiket; dirinya mendapat laporan penjualan tiket film Benyamin Biang Kerok sejak film itu ditayangkan; menuntut ganti rugi kerugian immaterial Rp 10 miliar, dan menuntut tergugat membuat pernyataan permintaan maaf melalui dua media nasional. Sejauh ini belum terjadi mediasi di pengadilan antara Syamsul dan pihak Falcon.
Hanung menegaskan, sebagai sutradara ia sendiri tidak diminta pihak Falcon mengikuti cerita Benyamin Biang Kerok yang dibuat Syamsul Fuad. “Bahkan pihak Falcon ingin mengubah image Benyamin menjadi lebih modern,” ujar Hanung.
Karena itu, kata Hanung, film Benyamin Biang Kerok yang ia buat sangat berbeda. “Saya hanya mengambil judul Biang Kerok dan nama Pengki,” ujarnya. Menurut dia, sepengetahuannya Falcon Pictures sudah membeli hak cipta seluruh film-film Benyamin. “ Falcon juga sudah memiliki perjanjian dengan keluarga Benyamin,” kata Hanung.
LESTANTYA R. BASKORO