VONIS sepuluh bulan penjara oleh majelis hakim terhadap Ketua Organisasi Saracen, Jasriadi, membuat kita bertanya: seberapa profesionalkah aparat hukum kita dalam menyelidiki, menyidik, dan membawa perkara ini ke meja hijau? Atau ada apakah dengan aparat hukum kita?
Jumat pekan lalu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru memvonis Jasriadi, 32 tahun, sepuluh bulan penjara, karena terbukti melakukan perbuatan ilegal meretas akun media sosial milik orang lain. Ia dinyatakan melanggar Pasal 46 Ayat (1) jo Pasal 30 Ayat (1) UU No.19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Vonis ini jauh lebih ringan dari admin grup Saracen, M. Abdullah Harsono yang pada 11 Januari lalu divonis 2 tahun 8 bulan penjara karena dinyatakan terbukti menyebar konten berisi ujaran kebencian pada akun Facebooknya.
Jasriadi menyatakan banding atas putusan hakim. Dan itu memang haknya dan bukan mustahil jika ia membuktikan yang dilakukan tersebut tak ilegal, maka pengadilan banding akan menganulir vonis pengadilan tingkat pertama.
Vonis ringan terhadap Jasriadi sangat bertolak belakang dengan ingar bingar saat aparat keamanan, kepolisian, berhasil meringkus dan membongkar jaringan Saracen. Publik saat itu terperanjat melihat bagaimana, seperti dinyatakan aparat hukum, sepak terjang Saracen memproduksi konten-konten ujaran kebencian dan menangguk keuntungan atas “bisnis” pembuatan konten seperti itu. Publik mengapresiasi kerja polisi dan mengharap penangkapan terhadap pelaku penyebaran hoaks yang meresahkan masyarakat akan segera menurunkan tensi lalu lintas ujaran kebencian di ranah medsos --sekaligus memberi pelajaran pada orang atau kelompok lain untuk tidak melakukan hal sama. Harapan diletakkan kepada aparat hukum agar menghukum pelakunya dengan hukuman setimpal.
Kini kita melihat realitas itu tak terjadi. Majelis hakim menyatakan Jasriadi tidak melakukan kejahatan penyebaran hoaks dan konten berisi ujaran kebencian. Artinya, majelis melihat tidak cukup bukti yang disodorkan aparat penyidik untuk menjadi dasar mereka memutus terdakwa melakukan penyebaran konten SARA dan memvonis hukuman lebih berat ketimbang 10 bulan penjara.
Tanggung jawab pertama dalam perkara ini adalah jaksa yang membuat tuntutan atas dasar kesalahan dan bukti-bukti serta mencari pasal dan dasar hukum pelanggaran yang dilakukan Jasriadi. Dalam kasus ini, jika jaksa merasa kurang kuat atas bukti yang didapat aparat kepolisian, jaksa bisa meminta aparat kepolisian –penyelidik/penyidik- untuk mencari dan memberikan bukti lebih kuat, kokoh, sehingga akan tak terbantahkan dalam sidang pengadilan, dan hakim tidak memberi putusan lain selain memutus bersalah sesuai bukti yang disodorkan jaksa.
Untuk kasus yang demikian menghebohkan ini -diekspose dan dimuat sebagai berita utama di berbagai media- kita yakin aparat hukum di daerah pasti telah berkoordinasi dengan aparat di pusat. Para jaksa daerah tentu akan melaporkan hasil kerja mereka kepada atasan lebih tinggi, meminta supervisi, sebelum menyatakan berkas mereka P-21, lengkap, dan dikirim ke pengadilan.
Aparat kepolisian, yang membongkar kasus ini, semestinya mafhum yang mereka hadapi adalah dugaan kejahatan kerah putih. Perlu bukti kuat, perlu saksi mumpuni, yang semuanya seimbang dengan ekspos yang mereka lakukan. Tanpa mendapat bukti kuat dan hanya dengan bukti permulaan yang gampang dipatahkan, apalagi kemudian, tak menemukan bukti lebih kuat, hal wajar jika para tersangka melakukan perlawanan.
Pelajaran kasus Saracen adalah aparat hukum kita belum profesional. Tidak ada gunanya mengekspose keberhasilan membongkar kejahatan jika hasil dan barang bukti yang didapat jauh dari cukup untuk mengantar pelaku kejahatan mendapat hukuman setimpal.
LESTANTYA R. BASKORO