TEMPO.CO, Jakarta - Seorang dokter tim Olimpiade Amerika Serikat dihukum 175 tahun penjara atas rangkaian pelecehan seksual yang dia lakukan. Amerika gempar. Hakim dipuji, tapi juga dikritik karena terlalu berempati kepada korban.
Petualangan panjang dan mengerikan itu, berakhir Rabu pekan lalu, di sebuah sidang pengadilan, setelah Hakim Rosemarie Aquilina mengumumkan putusannya, yakni hukuman 40-175 tahun penjara bagi terdakwa.
Pada November lalu, sebenarnya dokter atlet senam Amerika Serikat, Larry Nassar, mengaku telah melakukan pelecehan seksual terhadap 7 atlet. Namun setelah hakim menyerukan agar para korban bangkit dan memberikan kesaksian, pengakuan berikutnya muncul bagaikan air bah. Dalam seminggu, 156 aduan masuk ke pengadilan wilayah Ingham, di negara bagian Michigan.
Baca: Pelecahan Seksual Menurut KUHP
"Suatu kehormatan bagi saya untuk menjatuhkan hukuman kepada Anda, Tuan. Anda memang tak pantas berjalan di luar penjara lagi. Ke mana saja Anda berjalan, kehancuran akan menimpa mereka yang paling rapuh," tutur Aquilina yang telah mendengarkan pengakuan korban dokter spesialis berusia 54 tahun itu.
Dokter ini, menurut Jaksa Angela Povilaitis, telah menggunakan posisinya untuk mendapatkan kepercayaan para korban, lalu mengeksploitasinya. Di dunia olahraga senam yang kompetitif, dia mendapatkan tempat yang sempurna untuk menjalankan muslihatnya.
Dunia olahraga Amerika pun gempar. Menjawab seruan Komite Olimpiade Amerika Serikat, beberapa direktur organisasi senam secara demonstratif mengundurkan diri sebagai tanda solidaritas kepada para korban. Sesungguhnya, apa yang dihadapi Aquilina kali ini memang bukan kasus kriminal biasa.
Mendengarkan rangkaian pelecehan seksual yang dilakukan, sang hakim sudah bisa menyimpulkan Nassar layak dihukum penjara sampai mati. Sebelumnya, di pengadilan federal, Nassar telah diganjar hukuman 60 tahun akibat tuntutan pornografi anak. Waktu itu, jaksa penyidik berhasil mengumpulkan 37 ribu video dan gambar sebagai barang bukti.
Kali ini, Nassar harus menghadapi tuntutan telah melakukan tindak kriminal seksual. Salah satu pengakuan menyebut, atlet senam harus masuk gelanggang sambil menahan sakit pada kelaminnya, setelah berobat ke dokter yang dapat menyembuhkan segala sakit, terutama bermacam persoalan dengan otot dan tulang itu. Di mata korban, dokter yang memiliki keahlian medis nan ajaib dan pernah jadi bagian dari tim kesehatan Amerika di Olimpiade ini, telah menjadi monster yang kini menghantui hidupnya.
Pengakuan pertama muncul dari mulut Kyle Stephens, atlet senam yang menyampaikan selama enam tahun—dari dia berusia 6 tahun hingga 12 tahun—Nassar memperlakukannya dengan tak senonoh.
Semua itu bermula dari kekecewaan Rachael Denhollander, pengacara asal Kentucky, terhadap kekurangpedulian lembaga-lembaga olahraga pemerintah kala menghadapi berbagai aduan kasus pelecehan seksual yang melibatkan Nassar.
Mendengar pengakuan kliennya, Nassar telah melakukan pelecehan seksual, seperti meraba-raba, membelai, dan memasukkan tangannya ke organ vital gadis pesenam yang masih berusia 15 tahun, ia tidak berpikir dua kali untuk melanjutkan kasus ini dari kepolisian setempat. Hingga akhirnya ke pengadilan pada 2016.
Sebenarnya, IndyStar, sebuah surat kabar yang terbit di Indiana, pada 2016, pernah menerbitkan laporan panjang investigatif yang menunjukkan di dalam dunia para pesenam telah terbentuk tradisi untuk tidak melaporkan pelecehan seksual yang dilakukan para pelatih atau anggota tim kesehatan.
Saking kuatnya tradisi itu, 368 kasus pelecehan seksual yang tercatat sepanjang 20 tahun terakhir tak pernah ditindaklanjuti. Persoalan yang berlarut-larut ini baru meledak setelah satu atlet senam memberikan kesaksiannya di pengadilan wilayah Ingham, Michigan, Selasa lalu.
Kendati Amerika yang gempar itu serentak menunjukkan dukungannya kepada Aquilina. Hakim yang secara demonstratif menunjukkan keberpihakan total kepada para korban ini tak luput dari kritik. Aquilina lebih menyerupai jaksa penuntut daripada hakim. Kata-katanya “konstitusi kita tak mengizinkan hukuman yang jahat dan keji. Jika diizinkan, saya akan membiarkan orang melakukan dirinya seperti yang dilakukannya kepada para korban” tidak saja membenarkan hukum pembalasan atau qisas, tapi juga seperti mengisyaratkan dia boleh secara seksual dilecehkan di penjara kelak.
Dalam sebuah tulisannya di majalah Vox, pengacara publik, Rachel Marshall dari Oakland, California, mencela sang hakim yang dinilai telah kehilangan objektivitas, netralitas, dan kedinginannya. Marshall mengkhawatirkan kejadian di pengadilan wilayah Ingham akan menjadi preseden yang mendorong hakim mengikuti aspirasi orang banyak, ketimbang berpegangan pada hukum dan keadilan.
“Dalam sistem pengadilan kriminal kita, korban tidak menentukan hukuman bagi pelaku kejahatan, karena korban dapat dipahami, tidak akan berlaku objektif,” katanya. Semua ini pum tidak ditujukan buat keuntungan dokter Nassar, lanjut dia, tapi untuk menjaga sistem pengadilan yang adil.
IDRUS F. SHAHAB