Suparman Marzuki: Seharusnya Ketua Mahkamah Konstitusi Mundur

Reporter

Tempo.co

Senin, 5 Februari 2018 08:54 WIB

Calon Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan calon Hakim MK di Komisi III, gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 6 Desember 2017. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Etika hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengharuskan hakimnya menjaga kehormatan martabat pribadi dan jabatan. Kalau seorang hakim gagal melakukan itu, karena terbukti melakukan pelanggaran etik, dia sudah kehilangan kehormatan dan martabat sehingga tak pantas lagi mengemban jabatan tersebut.

Ketua MK Arief Hidayat, yang seharusnya menjadi teladan dan lokomotif perbaikan MK, justru dijatuhi sanksi etik oleh Dewan Etik MK karena terbukti melanggar etik dengan membuat surat sakti (katebelece) kepada salah seorang pimpinan Kejaksaan Agung agar memberikan perhatian khusus kepada kerabatnya pada 2016. Respons Arief setelah diberi sanksi tersebut kurang-lebih menyatakan bahwa dia menerima dan menjadikan sanksi itu sebagai pelajaran serta akan mengambil hikmahnya.

Kalaulah sanksi tersebut menimpa orang yang bukan hakim, respons semacam itu bagus-bagus saja. Tapi dia hakim dan bahkan Ketua MK, maka respons yang sepadan seharusnya mundur. Dia telah batal untuk memegang jabatan amanah rakyat dan negara. Etisnya, dia kembalikan jabatan itu kepada si pemberi amanat, yaitu negara untuk dan atas nama rakyat. Faktanya, dia masih menjadi hakim dan bahkan kembali terpilih menjadi Ketua MK. Ajaib.

Namun, belum pulih keterkejutan publik atas perbuatan dan sanksi pertama, Arief kembali diberi sanksi etik oleh Dewan Etik MK karena terbukti melakukan pertemuan dengan sejumlah anggota Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta Pusat. Pertemuan itu terkait dengan rencana seleksi pemilihan hakim MK terhadap dirinya sendiri. Dewan Etik menilai perbuatan tersebut merupakan pelanggaran etik.

Dengan demikian, Arief Hidayat telah dua kali terkena sanksi etik. Dia terbukti tidak bisa berubah dan tidak bisa menjadi contoh yang baik. Karena itu, hampir tidak mungkin dia mampu mengangkat citra Mahkamah Konstitusi.

Advertising
Advertising

Namun agaknya kita tak bisa mengharapkan hakim pelanggar etik sadar diri lalu mundur. Dibutuhkan perubahan aturan dan sanksi etik untuk menciptakan sistem kontrol di MK agar lembaga penjaga konstitusi ini tidak makin terpuruk.

Untuk itu, kita perlu menengok pokok masalahnya. Pertama, dalam pengisian jabatan hakim MK, syarat integritas dan kompetensi sering kali diabaikan oleh lembaga pengusul, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiga institusi negara tersebut belum memiliki standar seleksi yang seragam, sehingga menyeleksi sesuai dengan selera masing-masing.

Kedua, orang-orang yang mencalonkan diri tidak pula menakar diri. Apakah dirinya pantas serta memiliki integritas dan kompetensi untuk menjadi penjaga konstitusi? Sebagian calon, bahkan para pencari kerja, mendaftar pada semua jabatan negara, seperti Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, keempat lembaga negara tersebut memiliki kewenangan yang berbeda. Ketiga, putusan MK, yang menganulir kewenangan KY menjadi pengawas hakim MK, membuat MK rentan terhadap pengaruh dari dalam dan luar.

Ketiga masalah itu terbukti berdampak buruk bagi MK. Lembaga penjaga konstitusi ini telah berkali-kali didera penderitaan. Wibawanya tercemar akibat ulah hakim-hakim dan ketua-ketuanya yang tidak amanah. Peristiwa pertama, seorang hakim melibatkan keluarganya dalam urusan perkara yang berujung mundurnya hakim tersebut. Peristiwa kedua yang lebih meruntuhkan MK adalah tertangkap tangannya Akil Mochtar oleh KPK karena menerima suap dalam penanganan banyak perkara sengketa pemilihan kepala daerah. Penderitaan MK ketiga dibuat oleh Patrialis Akbar, yang tertangkap tangan KPK ketika menerima suap penanganan perkara uji materi undang-undang.

Dari tiga peristiwa tersebut, tentu wajar bila publik menginginkan hakim-hakim MK yang sezaman dengan Akil Mochtar, Patrialis Akbar, termasuk yang baru masuk setelah tiga kasus memalukan itu, belajar dan mengambil hikmah dengan menjadi hakim yang amanah, menjaga dan menegakkan etika profesi, serta menunjukkan integritas dan kompetensinya. Istikamah dalam "diam" dan "kesunyian".

Untuk itu, MK harus berubah. Perubahan itu dapat dilakukan dengan beberapa hal. Pertama, peraturan perundang-undangan tentang pengisian jabatan hakim MK harus ditegaskan sebagai seleksi terbuka, obyektif, dan akuntabel oleh tim seleksi tepercaya. Kedua, cabang kekuasaan membuka kesempatan pada setiap orang yang memiliki integritas dan kompetensi untuk ikut seleksi.

Ketiga, kontrol kewenangan hakim Mahkamah Konstitusi patut diberikan kepada institusi eksternal atau minimal dibentuk oleh institusi eksternal, bukan dibentuk oleh MK dan berkantor di MK. Keempat, pengaturan kualifikasi sanksi etik yang lebih tegas dan konkret dengan menakar kedudukan dan perbuatannya. Kalau seseorang, misalnya, sudah dua kali terkena sanksi dalam jabatan ketua, dia pantas diberhentikan.

Suparman Marzuki
Mantan Ketua Komisi Yudisial

Artikel ini dimuat di Koran Tempo edisi 1 Februari 2018.

Berita terkait

PAN Cabut Gugatan Sengketa Pileg dengan PPP di MK

17 jam lalu

PAN Cabut Gugatan Sengketa Pileg dengan PPP di MK

Keputusan PAN mencabut gugatan PHPU pileg dengan PPP di MK. Diketahui, permohonan tersebut telah ditandatangani Ketum PAN Zulkifli Hasan.

Baca Selengkapnya

Ketua MK Sempat Tegur Ketua KPU Hasyim Asy'ari karena Izin Tinggalkan Sidang

17 jam lalu

Ketua MK Sempat Tegur Ketua KPU Hasyim Asy'ari karena Izin Tinggalkan Sidang

Hakim MK menegur Ketua KPU Hasyim Asy'ari karena meminta izin meninggalkan sidang, padahal sidang baru dimulai kurang dari 30 menit.

Baca Selengkapnya

Tak Hadir Sidang Etik Dewas KPK, Nurul Ghufron Bilang Sengaja Minta Penundaan

17 jam lalu

Tak Hadir Sidang Etik Dewas KPK, Nurul Ghufron Bilang Sengaja Minta Penundaan

Nurul Ghufron mengatakan tak hadir dalam sidang etik Dewas KPK karena sengaja meminta penundaan sidang.

Baca Selengkapnya

KPU Respons Kemarahan Hakim MK karena Absen di Sidang: Ada Agenda Penting Pilkada

18 jam lalu

KPU Respons Kemarahan Hakim MK karena Absen di Sidang: Ada Agenda Penting Pilkada

Komisioner KPU Idham Holik angkat bicara usai Hakim MK Arief hidayat marah lantaran tak ada satu pun komisoner yang hadir di sidang sengketa pileg

Baca Selengkapnya

PSI Tuding Suaranya di Dapil Nias Selatan 5 untuk Kursi DPRD Berpindah ke Gerindra

18 jam lalu

PSI Tuding Suaranya di Dapil Nias Selatan 5 untuk Kursi DPRD Berpindah ke Gerindra

PSI menduga suara partainya dalam pemilihan legislatif DPRD Nias Selatan, Sumatera Utara berpindah ke Partai Gerindra.

Baca Selengkapnya

Sidang Sengketa Pileg di MK: Ribuan Suara PPP dan PDIP Diklaim Berpindah ke Partai Lain

20 jam lalu

Sidang Sengketa Pileg di MK: Ribuan Suara PPP dan PDIP Diklaim Berpindah ke Partai Lain

PDIP dan PPP mengklaim ribuan suara pindah ke partai lain dalam sidang sengketa Pileg di MK hari ini.

Baca Selengkapnya

PDIP Gugat KPU di Pileg Kalsel, Klaim 15.690 Suara Beralih ke PAN

22 jam lalu

PDIP Gugat KPU di Pileg Kalsel, Klaim 15.690 Suara Beralih ke PAN

PDIP menggugat KPU karena dinilai keliru dalam menghitung suara PAN di gelaran Pileg Kalsel.

Baca Selengkapnya

Tim Hukum PDIP: Gugatan ke PTUN Bukan untuk Batalkan Pencalonan Gibran

22 jam lalu

Tim Hukum PDIP: Gugatan ke PTUN Bukan untuk Batalkan Pencalonan Gibran

Apa yang ingin dibuktikan PDIP di PTUN adalah apakah KPU terbukti melakukan perbuatan melawan hukum oleh penguasa dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya

Pakar Hukum Tata Negara Anggap Gugatan PDIP di PTUN Sulit Dieksekusi

1 hari lalu

Pakar Hukum Tata Negara Anggap Gugatan PDIP di PTUN Sulit Dieksekusi

Charles pesimistis hakim PTUN bakal mengabulkan petitum PDIP untuk menganulir pencalonan Gibran Rakabuming Raka.

Baca Selengkapnya

Presiden Jokowi dalam Sorotan Aksi Hari Buruh Internasional Kemarin

1 hari lalu

Presiden Jokowi dalam Sorotan Aksi Hari Buruh Internasional Kemarin

Aksi Hari Buruh Internasional pada Rabu kemarin menyoroti janji reforma agraria Presiden Jokowi. Selain itu, apa lagi?

Baca Selengkapnya