Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Revitalisasi Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah

image-gnews
Sejumlah Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) membentangkan poster sebagai bentuk protes saat berlangsungnya Rapat Paripurna DPD RI di Gedung Nusantara V, Jakarta, 11 April 2017. Rapat Paripurna DPD ini beragendakan mendengar pidato pembuka masa sidang. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Sejumlah Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) membentangkan poster sebagai bentuk protes saat berlangsungnya Rapat Paripurna DPD RI di Gedung Nusantara V, Jakarta, 11 April 2017. Rapat Paripurna DPD ini beragendakan mendengar pidato pembuka masa sidang. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Iklan

Oleh DR. Sulardi

Perubahan  UUD 1945 tahun 1999-2002 lalu menjadikan badan perwakilan di Indonesia mengalami perubahan,  yang semula menganut monokameral menjadi bicameral atau dua kamar, yang terdiri dari DPR yang mewakili partai politik dan DPD yang mewakili kepentingan daerah.

Bagir Manan memandang ada beberapa pertimbangan bagi Indonesia menuju sistem dua kamar:  Pertama, Seperti diutarakan Montesquieu, sistem dua kamar merupakan suatu mekanisme checks and balances antara kamar-kamar dalam satu badan perwakilan. Kedua, Penyederhanaan sistem badan perwakilan. Hanya ada satu badan perwakilan tingkat pusat yang terdiri dari dua unsur yaitu unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat dan unsur yang mewakili daerah. Tidak diperlukan utusan golongan. Kepentingan golongan diwakili dan disalurkan melalui unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat. Ketiga, wakil daerah menjadi bagian yang melaksanakan fungsi parlemen (membentuk undang-undang, mengawasi pemerintah, menetapkan APBN, dan lain-lain).

Dengan demikian segala kepentingan daerah terintegrasi dan dapat dilaksanakan sehari-hari dalam kegiatan parlemen. Hal ini merupakan salah satu faktor untuk menguatkan persatuan, menghindari disintegrasi. Keempat, sistem dua kamar akan lebih produktif. Segala tugas dan wewenang dapat dilakukan setiap unsur. Tidak perlu menunggu atau bergantung pada satu badan seperti DPR sekarang.

Sebagai perbandingan, menurut Samuel C Patterson & Anthony Mughan, selain lahir dari tradisi dan sejarah yang panjang, diterapkannya bikameralisme dalam sistem perwakilan diberbagai negara pada umumnya didasarkan atas dua pertimbangan; Pertama, Representation, perlunya perwakilan yang lebih luas dari pada hanya atas dasar jumlah penduduk. Dalam hal ini yang paling utama adalah pertimbangan keterwakilan wilayah.

Kedua, redundancy, perlu adanya sistem yang menjamin bahwa keputusan-keputusan politik yang penting, dibahas secara berlapis (redundancy) sehingga berbagai kepentingan dipertimbang-kan secara masak dan mendalam.

 Ternyata terdapat kesenjangan kewenangan yang menyolok antara peran DPR dan peran DPD.  Peran DPR sangat besar meliputi penyusunan undang - undang, pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang oleh presiden, dan penyusunan rancanagn APBN. Bahkan dalam hal pemberhentian presiden,  DPR sangat berperan, mulai dari pengajuan kepada Mahkamah Konstitusi, hinggá  pengambilan keputusan dalam pemberhentian Presiden dalam sidang MPR.

Mengingat jumlah DPR yang melebihi ¾ dari keseluruhan anggota MPR. Sedang DPD hanya mempunyai  peran pelengkap, baik dalam penyusunan undang-undang, pengawasan terhadap pemerintah maupun penyusunan APBN. Secara demikian checks and balances di lembaga legislatif tidak terjadi, justru dominasi DPR atas Presiden dalam ruang legislasi makin kuat secara konstitusional.Padahal keberadaan kamar kedua bertujuan untuk mencegah terjadinya undang-undang yang dibentuk secara terburu, asal-asalan. Oleh sebab itu perlu melibatkan kamar yang lain dalam rangka persetujuan undang-undang.

Sebagai perbandingan,  di Jerman majelis tinggi yang disebut Bundesrat  memiliki kewenangan untuk menyetujui dan mem-veto (menolak) suatu rancangan undang-undang yang di Basic Law telah menentukan rancangan undang- undang mana saja yang diharuskan mendapat persetujuan Bundesrat, yaitu rancangan undang-undang untuk mengamandemen konstitusi, rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pelaksanaan administrasi negara bagian, serta rancangan undang-undang yang mempengaruhi kondisi keuangan negara. Perlu diketahui bahwa penolakan (veto) dari Bundesrat terhadap rancangan undang-undang yang telah ditentukan oleh Basic Law  harus mendapatkan persetujuan Bundesrat dikenal sebagai absolute veto, veto jenis ini tidak dapat dikalahkan oleh Bundestag, (majelis rendah.

Sedang di Inggris secara umum, fungsi the House of Lords—selanjutnya disebut the Lords—serupa dengan fungsi the Commons dalam hal legislasi, membahas isu, dan bertanya pada eksekutif. Namun, dua hal penting yang amat membedakannya adalah: pertama, para anggota the Lords tidak merepresentasikan konstituen; kedua, mereka tidak terlibat dalam hal yang berkaitan dengan pajak dan keuangan. Peran the Lords secara umum dipahami sebagai sebuah peran tambahan dari apa yang telah dilakukan oleh the Commons, yaitu sebagai perevisi rancangan undang-undang yang dianggap amat penting dan kontroversial. Semua rancangan undang-undang harus melalui kedua kamar.

Di Amerika Serikat dalam Congress yang terdiri dari House of Representative ( DPR) dan Senat) , misalnya, DPR dan Senat punya kesempatan untuk mengecek semua rancangan undang-undang sebelum disampaikan kepada presiden. Dengan demikian, dalam fungsi legislasi, Senat punya kewenangan yang relatif simbang dengan DPR.

 

Problem ketidaksetaraan DPD dan DPR

Ketidaksetaraan kewenangan dan kedudukan antara DPR dan DPD, sesungguhnya diawali sejak awal perubahan UUD. Pada perubahan pertama tahun 1999, peran legislasi dan politik lembaga legislatif sudah sepenuhnya diserahkan pada DPR. Pada awal pelaksanaan kewenangan DPR yang sangat kuat itu, dirasakan DPR menjadi mendominasi kekuasaan presiden, sehingga awal perubahan UUD ketiga tahun 2001 muncul wacana perlunya lembaga penyeimbang atas kewenangan DPR itu, hadirlah DPD.

DPD yang dikontruksi sebagai lembaga perwakilan daerah kewenangannya sesungguhnya telah diambil habis oleh DPR, mulai dari penyusunan undang-undang, anggaran, sampai dengan mekanisme pemberhentian presiden, bahkan proses – proses seleksi atas lembaga negara ; Komisi Pemilihan Umum, Komisi pemberantas korupsi, Komisi Yudisial dan lembaga independen lainnya DPR yang melakukan uji kelayakan.  Oleh sebab itu pengaturan kewenangan DPD pun dipaksakan masuk dalam UUD namun tidak secara optimal misalnya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 22D Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945: “Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan  daerah.” Sedangkan yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 : Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Dengan kewenangan yang tidak optimal itu, DPD generasi pertama mengupayakan peningkatan optimal DPD melalui usulan perubahan UUD.  Pada tahun 2008 keseluruhan DPD  menginisiasi usulan perubahan UUD, tetapi usulan perubahan UUD  itu kandas dikarenakan tidak dipenuhinya persyaratan pengajuan usulan perubahan UUD, yakni diusulkan sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah anggota MPR. Kegagalan usulan perubahan UUD itu, disamping tidak cukup kuorum jumlah pengusul juga disebabkan oleh substansi usulan yang lebih memfokuskan optimalisasi wewenang, tugas dan kedudukan DPD.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gagal meningkatkan optimalisasi peran dan kewenangan DPD, pada tahun 2013 DPD dalam upaya meningkatkan optimalisasi perannya melalui campur tangan Mahkamah Konstitusi. Pada tanggal 28 Maret 2013 lalu, Mahkamah Konstitusi  melalui Putusan No 92/PUU-X/2012 telah mengabulkan permohonan pemohon  (dalam hal ini DPD) untuk sebagian atas pasal pasal dalam UU N0 27 Tahun 2009  tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bertentangan dengan UUD Negara RI tahun 1945. Beberapa pasal dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada intinya DPD kini mempunyai kewenangan yang sederajat dengan DPR dan Presiden dalam penyusunan undang–

Namun, tetap saja yang RUU mengenai  hal – hal tersebut di atas, mekanisme persetujuannya dilakukan secara bersama oleh DPR dan Presiden. Artinya, walaupun melalui keputusan MK, kedudukan dan kewenangan DPD dalam menyusun Undang-undang naik kelas, tetapi kedudukannya masih di bawah DPR dan Presiden.

Walau pun demikian, bukan berarti DPD tidak bisa berperan secara optimal. Peranan yang ada sekarang ini perlu ditunjukan bahwa RUU yang diajukan oleh DPD adalah RUU yang aspiratif dan responsive. RUU yang secara substansi diperlukan oleh masyarakat dan sangat bermanfaat. Konsolidasi dan kesolidan DPD sebagai lembaga perwakilan rakyat, dan kinerja yang baik akan dirasakan oleh masyarakat melalui program laporan tahunan capaian kinerja DPD, baik dalam hal legislasi, maupun pengawasan terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Bila ini bisa dilakukan dengan baik, maka segenap masyarakat akan mengerti akan eksistensi DPD. Bagaimana pun juga dukungan dan kepedulian masyarakat terhadap DPD ini sangat diperlukan, dalam rangka untuk lebih meningkatkan peran DPD dalam bernegara. Terkait peningkatan peran dan kewenangan DPD, pada bulan lalu tepatnya 6 April 2017, dalam rapat dengan DPR  dalam rangka revisi UU nomor 17 tahun 2014 tentang MD3. Perwakilan DPD menyampaikan 12 usulan, yang intinya merupakan peningkatkan kewenangan DPD dalam penyusunan undang-undang.

Namun  demikian, masih diperlukan perombakan secara besar-besaran penguatan kewenangan DPD secara konstitusional . Pertama, jumlah anggota DPD ditambah, sesuai jumlah kabupaten dan kota yang berada di Provinsi ynag diwakilinya. Kelak jumlah DPD sama dengan dengan jumlah kota dan kabupaten di Indonesia. Kedua, ditingkatkannya peran dan wewenanng DPD yang setara dengan DPR. Ketiga, salah satu  tugas anggota DPD adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan otonomi daerah, di tempat kota atau kabupaten dia berasal. Keempat, segera agendakan perubahan kelima  UUD 1945, untuk merealisasi gagasan  tersebut di atas.

Belajar dari kegagalan usulan perubahan UUD pada tahun 2008 itu,  DPD semestinya mengajukan rancangan perubahan tidak hanya untuk kepentingan optimalisasi lembaga DPD di bidang legislasi, tetapi pada kepentingan yang lebih luas, yaitu menuju sistem presidensiil yang sesungguhnya, yaitu sistem pemerintahan presidensiil yang tidak dicampuri dengan sistem pemerintahan yang lain. Jika hanya untuk penguatan dan optimalisasi kedudukan DPD agar setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pastilah mendapat penolakan dari anggota MPR yang berasal dari anggota DPR. Hal ini jelas, sebab dengan meningkatnya kedudukan DPD sama halnya DPR menyerahkan sebagian kekuasaanya pada DP

Harus diakui, bahwa di dalam UUD Negara RI tahun 1945 konstruksi sistem presidensiil lebih kuat ketimbang sebelumnya, hal tersebut dapat dilihat pada tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Kemudian  masa jabatan presiden yang dibatasi maksimal dua periode pemerintahan atau 10 tahun. Pembatasan masa jabatan ini untuk menghindari terjadi penguatan kekuasaan pada sosok presiden yang telah terjadi pada dua presiden kita sebelumnya, yakni Soekarno tahun 1945 sampai 1966, dan Soeharto 1966 sampai dengan 1998.  Batasan hanya dua masa jabatan juga memberikan jaminan terjadinya regenerasi kepemimpinan di masa depan.

Penguatan yang lainnya dapat dilihat dari mekanisme pemberhentian Presiden, yang dilakukan melalui tiga tahap, pertama pendapat DPR bahwa Presiden telah melanggar UUD Negara RI tahun 1945, tahap kedua pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)  atas pendapat DPR, dan tahap ketiga adalah keputusan politik oleh MPR. Mekanisme ini lebih maju dibanding sebelumnya yang hanya dilakukan oleh DPR dan MPR saja.

Hanya saja, berdasar pada doktrin Trias Politika, bahwa kekuasaan pada suatu negara mesti dipisah pisahkan secara tegas, antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemisahan secara tegas ketiga lembaga kekuasaan tersebut  kemudian dinamai sistem pemerintahan presidensiil. Ciri inilah yang belum ada dalam UUD Negara RI tahun 1945, sebab presiden selaku pelaksana kekuasaan eksekutif mempunyai kekuasaan di bidang legislatif. Cheks and balances penyusunan undang undang terjadi antara Presiden dan DPR. Semestinya antara DPD dan DPR.

Secara demikian, sudah sepantasnya DPD mensosialisasikan atas gagasan perubahan UUD menuju pada sistem presidensiil yang sesungguhnya. Apabila gagasan perubahan UUD berkutat pada kesetaraan antara DPR dan DPD pun, secara ketatanegaraan menimbulkan implikasi terhadap kelembagaan yang lain. Pengandaiannya, apabila kedudukan DPD disetarakan dengan DPR dan kewenangan membuat undang-undang ada pada DPR dan DPD menurut Harjono, (mantan Hakim Konstitusi MK), dengan sendirinya memunculkan problem kenegaraan, sebab antara penyusun undang-undang dan lembaga yang melakukan perubahan UUD menjadi sama, yaitu MPR.

Hal tersebut memunculkan problematika terhadap Judicial Review undang-undang terhadap UUD. Sebab, lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan Judicial Review dalam hal ini Mahkamah Konstitusi menjadi tidak diperlukan, toh dengan sendirinya MPR bisa menyatakan bahwa UU bertentangan dengan UUD atau tidak. Oleh sebab itu, gagasan perubahan UUD haruslah didesain lebih holistik, jangan hanya parsial pada kedudukan DPD saja. Sebab suatu hal yang mustahil, DPD dioptimalkan tanpa menyinggung kewenangan lembaga lembaga yang lain.

Hal tersebut membuktikan, bahwa arah presidensiil yang sesungguhnya kini berada di tangan DPD, sebab sejauh ini hanya DPD lah yang antusias mengajukan usulan perubahan UUD. Jika gagasan perubahan UUD difokuskan pada arah sistem pemerintahan presidensiil, akan lebih mudah memperoleh dukungan dari anggota anggota MPR yang lain.

Jika sistem Presidensiil diperkuat dalam UUD, dengan sendirinya kedudukan DPD akan lebih kuat dibanding saat ini. Artinya, penguatan dan optimalisasi DPD merupakan konsekuensi dari pengaturan sistem presidensiil dalam UUD. Jadi penguatan DPD jangan dijadikan tujuan utama dari gagasan perubahan UUD. Nasib sistem presidensiil yang sesungguhnya agar termuat pada UUD Negara RI tahun 1945, kini berada di tangan DPD.

DR Sulardi, pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Iklan

DPD



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


ICW Desak KPU RI Publikasikan Rekam Jejak Bacaleg Mantan Narapidana Korupsi

32 hari lalu

Ilustrasi KPU. ANTARA
ICW Desak KPU RI Publikasikan Rekam Jejak Bacaleg Mantan Narapidana Korupsi

ICW mempertanyakan komitmen KPU RI setelah DCS tak mengumumkan bacaleg yang merupakan mantan narapidana kasus korupsi.


Pemilu 2024, 15 Mantan Narapidana Korupsi Masuk DCS DPR dan DPD RI

32 hari lalu

Ketua KPU Hasyim Asy'ari dan jajaran memberikan keterangan saat konferensi pers soal Daftar Calon Sementara (DCS) Anggota DPR RI Pemilu 2024 di Gedung KPU Jakarta, Jumat, 18 Agustus 2023. Dalam keteranganya, Total DCS DPR RI Pemilu 2024 yang ditetapkan oleh KPU RI adalah sebanyak 9.925 orang bakal caleg dan rata-rata bakal caleg DPR RI perempuan mencapai angka 37,3 persen. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Pemilu 2024, 15 Mantan Narapidana Korupsi Masuk DCS DPR dan DPD RI

Sebanyak 15 mantan narapidana kasus korupsi masuk ke DCS DPR dan DPD RI untuk Pemilu 2024.


KPU DKI Tetapkan 1.818 Daftar Calon Sementara Anggota DPRD

39 hari lalu

Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, di Senen, Jakarta Pusat. ANTARA /HO-Humas KPU DKI Jakarta.
KPU DKI Tetapkan 1.818 Daftar Calon Sementara Anggota DPRD

KPU DKI Jakarta telah menetapkan Daftar Calon Sementara (DCS) anggota DPRD dan DPD DKI.


M. Syukur: Elit Politik Perlu Mencontoh Para Pendiri Bangsa

41 hari lalu

M. Syukur: Elit Politik Perlu Mencontoh Para Pendiri Bangsa

Jokowi memberikan pesan atas fenomena perilaku elit yang akhir-akhir ini tidak mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia.


Surya Paloh Anggap Menarik Pidato Ketua DPD soal MPR Jadi Lembaga Tertinggi Negara

43 hari lalu

Sejumlah Anggota MPR RI saat menghadiri Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI - DPD RI di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 16 Agustus 2023. Dalam acara tersebut Presiden Jokowi akan menyampaikan laporan kinerja lembaga - lembaga negara dan pidato kenergaraan dalam rangka HUT ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia. TEMPO/M Taufan Rengganis
Surya Paloh Anggap Menarik Pidato Ketua DPD soal MPR Jadi Lembaga Tertinggi Negara

Surya Paloh menilai gagasan tersebut merupakan sesuatu yang baik, karena nantinya pemilihan presiden akan dipilih kembali lewat MPR RI.


Alfiansyah Bustami Tambahkan Nama Komeng Demi Ikut Pileg 2024, Begini Syarat Tambah dan Ganti Nama

44 hari lalu

Komeng. TEMPO/Mazini Hafizhuddin.
Alfiansyah Bustami Tambahkan Nama Komeng Demi Ikut Pileg 2024, Begini Syarat Tambah dan Ganti Nama

Para artis pernah memutuskan untuk mengganti nama di pengadilan, termasuk Komeng untuk ikut Pileg 2024. Simak syarat ganti atau tambah nama.


Airlangga Hartarto Dapat Mandat Baru dari DPD Tingkat I Golkar, Apa Isinya?

58 hari lalu

Airlangga Hartarto Dapat Mandat Baru dari DPD Tingkat I Golkar, Apa Isinya?

DPD tingkat I Golkar memberi mandat baru kepada Airlangga Hartarto sebagai ketua umum. Selain itu, seluruh pimpinan DPD tingkat I menolak Munaslub.


Ketua DPD Golkar se-Indonesia Taat Pada Satu Komando

59 hari lalu

Ketua DPD Golkar se-Indonesia Taat Pada Satu Komando

Sebanyak 38 ketua DPD menegaskan komitmen dan taat pada keputusan munas, rapimnas, dan rakernas.


Hasil Pertemuan Golkar di Bali: DPD Tingkat I Tolak Munaslub, Airlangga Hartarto Diberi Mandat Baru

59 hari lalu

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (tengah) didampingi Sekjen Lodewijk Freidrich Paulus (kiri) dan Bendahara Umum Dito Ganinduto (kanan) melakukan pertemuan dengan jajaran ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Provinsi se-Indonesia di kawasan Nusa Dua, Badung, Bali, Minggu 30 Juli 2023. Dalam pertemuan itu seluruh jajaran DPD Partai Golkar Provinsi se-Indonesia menyatakan menolak isu musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) dan akan terus fokus memenangkan Golkar dalam Pemilu 2024 di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
Hasil Pertemuan Golkar di Bali: DPD Tingkat I Tolak Munaslub, Airlangga Hartarto Diberi Mandat Baru

DPD Tingkat I Golkar menyatakan tetap mendukung Airlangga Hartarto sebagai ketua umum hingga akhir masa jabatannya.


Profil 4 Pelawak Maju Bakal Caleg, dari Denny Cagur sampai Opie Kumis

21 Juli 2023

Pelawak Opie Kumis. TEMPO/Mazini Hafizhuddin
Profil 4 Pelawak Maju Bakal Caleg, dari Denny Cagur sampai Opie Kumis

4 pelawak niat maju sebagai caleg untuk Pemilu 2024, di antaranya Denny Cagur, Narji Cagur, Komeng, dan Opie Kumis. Ini profil mereka.