TEMPO.CO, Jakarta - RUANG besuk Penjara Cipinang, Jakarta Timur, Kamis siang, 25 Januari 2018, ingar-bingar. Jarum jam menunjukkan pukul 14.00. Ini merupakan waktu besuk kedua setelah istirahat dari waktu besuk pertama, pukul 09.00. Para pengunjung silih berganti berdatangan, menemui keluarga atau teman mereka yang ditahan di Lembaga Pemasyarakatan yang terletak tak jauh dari rel kereta api. Meja-meja kayu memenuhi ruangan seluas separuh lapangan badminton. Di atasnya, ada nomor-nomor untuk memudahkan para narapidana mencari penjenguknya. Para narapidana berkaus oranye hilir mudik keluar-masuk sesuai dengan panggilan petugas.
Baca: Pengacara Belum Terima Pemberitahuan Resmi Kasus JIS
Memakai baju biru yang bagian bawahnya dikombinasikan warna putih, Virgiawan Amin menemui Tempo. Bekas petugas kebersihan di Taman Kanak-Kanak Jakarta International School (JIS)—sekarang menjadi Jakarta Intercultural School—itu datang diantar seorang tamping (narapidana yang bertugas memanggil para narapidana lain). Di bagian dada baju birunya tertulis: Pekerja Kamtib. “Sejak dua bulan lalu, saya diangkat menjadi pembantu petugas keamanan,” katanya ketika ditanya tentang tulisan di seragamnya. “Tugasnya macam-macam antara lain mengambilkan makanan para petugas keamanan,” ucapnya sembari tersenyum kecil.
Di penjara yang berisi sekitar 3.000 orang tersebut, Awan, demikian panggilan terpidana kasus pelecehan seorang siswa JIS itu, menempati sel Blok Aula yang berisi sekitar 40 orang. Di situ, juga mendekam dua temannya yang senasib dirinya, divonis delapan tahun karena dinyatakan melakukan pelecehan seksual, yakni Zainal dan Syahrial. “Kalau Agun (Agun Iskandar, terpidana lain), menempati sel lain,” kata Awan.
Tersangka kasus dugaan kekerasan seksual murid TK Jakarta International School (JIS). TEMPO/Lestantya Baskoro
Adapun Afrischa, yang divonis tujuh tahun dalam kasus yang sama, dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Semarang dan beberapa bulan lalu telah bebas. “Saya tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan itu. Tidak pernah, tapi saya dipenjara,” ucap Awan. Ia mengucapkan kalimat itu dengan wajah tanpa ekspresi.
Menurut Awan, empat tahun lalu, di kantor polisi, ia mengakui perbuatannya karena tidak tahan dipukuli dan disiksa. ”Kami semua dipukuli, berkali-kali,” katanya, lagi. “Saat Azwar jatuh dan saya mau ke kamar mandi menolong, saya dibentak,” ujarnya. Azwar, salah seorang tersangka pelecehan seksual di JIS, tewas di kantor polisi beberapa saat setelah diperiksa.
Baca: Kasus Jakarta International School dan Sejumlah Kejanggalan.
Ketika disinggung bahwa pemeriksaan dokter di Rumah Sakit Polri Sukanto, Kramat Jati, ia dan beberapa teman-temannya dinyatakan pernah mengalami sodomi, Awan menggelengkan kepalanya berkali-kali.
Menurut Awan, beberapa saat setelah diperiksa di Kepolisian Daerah Metro Jaya, ia dan teman-temannya memang dibawa ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati. Di sana, ia diperiksa sejumlah orang –ia lupa jumlahnya—tapi juga ada seorang dokter. Satu persatu mereka kemudian diperintahkan untuk tidur di atas sebuah dipan. “Kemudian ke dubur kami dimasukkan semacam alat, keras seperti dari besi, sakit sekali,” tuturnya.
Surat-surat simpati untuk Virgiawan (Awan), tersangka kasus Jakarta International School. Lastyanta R. Baskoro
Awan mengaku tak ada masalah selama mendekam di penjara. Tak ada yang menyakiti dia, misalnya, lantaran dirinya narapidana kasus pelecehan seksual. Sampai kini, ia masih menerima surat-surat, termasuk dari luar negeri, yang menghibur dirinya dan mengucapkan simpati atas nasib yang menimpanya. Sebagian dari ratusan surat tersebut ditaruh di rumah neneknya, Sauni, perempuan yang sejak kecil mengasuhnya. “Saya ingin secepatnya keluar dari sini,” katanya. Ketika ditanya, apakah ia akan kembali bekerja di Jakarta International School, Awan menggeleng. “Saya belum memikirkan itu,” ujarnya.
LESTANTYA R. BASKORO